Polemik Kebijakan Nilai Limit Penjualan BMN Berupa Kendaraan Dinas

Perbedaan Implementasi Penilaian Sebagai Acuan Penetapan Nilai Limit Penjualan BMN

Sebagaimana telah kita ketahui, kegiatan Penilaian termasuk dalam ruang lingkup pengelolaan BMN. Hal ini berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D yang telah diubah menjadi PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D. Rangkaian kegiatan pengelolaan BMN/D itu sendiri meliputi: pengelolaan perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.

Definisi penilaian telah dijelaskan sebagaimana tertera pada PP Nomor 38 Tahun 2008 Pasal 1 angka 22 yaitu, suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh Penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu obyek penilaian pada saat tertentu dalam rangka pengelolaan BMN/D. Pada BAB VIII PP Nomor 06 Tahun 2006 dinyatakan bahwa penilaian BMN dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN. Untuk penilaian BMN dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan untuk penilaian BMN selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang, pun juga dapat melibatkan Penilai independen yang ditetapkan oleh Pengguna Barang. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan nilai wajar. Hasil penilaian tersebut kemudian digunakan Pengguna Barang sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan nilai limit BMN yang akan dijual dengan cara lelang.

Permasalahanya seringkali terjadi perbedaan persepsi mengenai penetapan harga limit. Pada kendaraan dinas, Satker menetapkan harga berdasarkan hasil kali antara harga perolehan dengan persentase nilai sisa kendaraan dinas yang akan dihapuskan. Nilai sisa diperoleh dari rekomendasi Unit Pelaksana Teknis Balai Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan (Dishub) yang terlebih dahulu melakukan survei atau cek fisik kendaraan dinas tersebut, sementara tim penilai DJKN c.q KPKNL menetapkan nilai berdasarkan nilai wajar sebagaimana peruntukan dalam rangka penyusunan LKPP.

Penetapan nilai limit lelang kendaraan dinas yang merupakan wewenang dari penjual (Pengguna Barang) adakalanya tidak sama dengan nilai wajar dari kendaraan dinas tersebut yang tertera di neraca pemerintah. Bahkan acapkali perbedaan antara harga limit jauh dibawah nilai wajar kendaraan tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2011 salah satu kementrian mengusulkan penghapusan BMN berupa kendaraan dinas dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui penjualan/lelang. Sebuah mobil jenis station wagon  merek Opel Blazer tahun perolehan 1997 dengan harga perolehan Rp 76.500.000,00, pada tahun berjalan memiliki nilai wajar sebesar Rp 44.500.000,00. Kemudian oleh DJKN c.q KPKNL menyetujui untuk dihapuskan dengan nilai limit Rp 32.500.000,00. Terlepas dari seberapa besar harga lelang dari mobil tersebut tetap saja hal tersebut dapat mengindikasikan terjadinya kerugian negara.

Kondisi di atas terjadi karena perbedaan kepentingan dalam penilaian. Penilai internal dari Pengguna atau Pengelola Barang belum memiliki kesamaan persepsi tentang standar nilai yang dipakai karna belum diatur secara tegas. Penting diingat yang menjadi dasar dalam penilaian bahwa, dalam melakukan penilaian setiap Penilai yang menerima penugasan penilaian wajib terlebih dahulu mengerti dan memahami tujuan penilaian yang menjadi tugasnya. Hal ini penting mengingat jika tujuan dalam melakukan penilaian berbeda, maka akan memerlukan macam dan metode penilaian yang berbeda pula.

Sebagian besar Satker menetapkan nilai limit berdasarkan hasil rekomendasi Dishub berupa nilai penyusutan yang kemudian dikalikan dengan nilai perolehan sebagai standar nilai sehingga seringkali diperoleh nilai limit yang jauh dibawah nilai wajar yang didapat oleh tim Penilai DJKN c.q KPKNL yang mendapatkan nilai wajar kendaraan dinas dengan berbagai metode. Salah satunya dengan metode pendekatan harga pasar dimana nilai wajar diperoleh dari hasil survei langsung dipasaran sebagai standar nilai sehingga diperoleh nilai wajar yang mendekati harga pasar. Dalam hal ini, nilai wajar memperhitungkan banyak faktor pembentuk nilai seperti inflasi, daya beli, permintaan dan penawaran dan lain sebagainya sehingga acapkali diperoleh nilai yang jauh lebih tinggi dari nilai perolehan.

Dalam beberapa kasus, terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara nilai wajar dengan nilai limit lelang BMN yang akan dihapuskan kemudian dijual secara lelang. Nilai limit yang ditetapkan acapkali lebih rendah dari nilai wajar yang ada pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hal ini tentu saja berpotensi merugikan negara dan menurunnya kualitas LKPP.

Polemik timbul justru karena tidak ada pihak yang patut untuk dijadikan kambing hitam. Bagaimanapun DJKN c.q KPKNL tidak memiliki wewenang untuk menetapkan nilai limit penjualan BMN. Dirjen KN sendiri telah menerbitkan surat menenai kebijakan nilai limit penjualan yang meminta Satker untuk menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limityang Diusulkan dalam usulan penghapsan. Selain itu, yang lebih mengetahui kondisi dari BMN yang dijual adalah Satker penjual. DJKN c.q KPKNL hanya berwenang menyetujui/menolak usulan Satker atas pemindahtanganan BMN. Sejauh apa yang diketahui saat ini, tidak ada satu pun yang melakukan kesalahan ataupun melanggar peraturan perundang-undangan. Semua berjalan sesuai prosedur dengan batas hak, kewajiban, dan wewenang masing-masing pihak. Baik DJKN c.q KPKNL, Satker penjual BMN, Dishub, pun Penilai. Hanya saja bagaimana caranya agar bisa memaksimalkan PNBP dan aset yang ada tidak tersia-siakan dengan percuma.

Dilema Satker

Dari Satker sendiri ada -dan telah menjadi rahasia umum yang entah apakah memang sudah tradisi atau memang ada kesepakatan tidak langsung antara PNS di negari ini yang tergabung dalam ribuan Satker- bahwa ada semacam bentuk rasa “terima kasih” yang diperbolehkan atas dasar pengabdian yang telah diberikan dan demi rasa kemanusiaan kepada pejabat yang menguasai atau merawat kendaraan dinas tersebut. Terlebih lagi kepada pejabat yang masa pengabdianya sebagai PNS akan segera berakhir atau akan menjalani masa purnabakti. Sehingga kendaraan dinas yang akan dihapuskan tersebut “dihadiahkan” kepada pegawai atau pejabat tertentu dengan cara memprioritaskan pejabat tersebut sebagai calon pemenang lelang.

Kenyataan tersebut diperparah karena ketika akan menjual kendaraan dinas tersebut, ada kewajiban untuk melakukan pengunguman lelang di surat kabar harian yang memenuhi syarat sesuai Pasal 41 PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sementara anggaran Satker untuk melakukan pengunguman tersebut tidak tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Akibatnya terkadang biaya pengunguman ini ditanggung oleh “si calon pembeli lelang” dengan harapan bahwa barang yang dihapuskan tersebut akan dapat dimenangkan oleh “calon pembeli” tersebut. Akibat lainnya, karena memang telah diatur bahwa untuk BMN selain tanah dan/bangunan dengan nilai sampai Rp 30.000.000,00 pengunguman bisa dilakukan melalui pengunguman tempel sehingga Satker bisa mengajukan permohonan kepada KPKNL agar mendapat keringanan untuk tidak melakukan pengunguman lelang melalui surat kabar harian yang memenuhi syarat. Sebagai gantinya, pengumuman dilakukan dengan membuat pamflet/melalui tempelan atau sejenisnya yang kemudian dipasang di papan pengunguman kantor Satker penjual dan di KPKNL. Itu pun dilaksanakan/diumumkan lima hari sebelum pelaksanaan lelang.

Jelas situasi seperti tersebut diatas tidak ideal dalam menciptakan tatanan pengelolaan BMN yang transparan dan akuntabel. Pelaksanaan lelang tanpa pengumuman yang tersebar luas akan berakibat pada sedikit/terbatasnya jumlah peserta lelang, sementara hal itu jelas tidak dibenarkan. KPKNL selaku pemegang otoritas lelang tidak memiliki kewenangan untuk melarang peminat lelang untuk mengikuti lelang, terlebih jika lelang telah dilakukan pengumuman terlebih dahulu. Efeknya, persaingan antara peminat/peserta diluar instansi “yang tidak memiliki ikatan dengan objek lelang dengan ‘peminat/peserta dalam” yang merasa telah mengeluarkan biaya untuk terselenggaranya lelang, tidak dapat dihindari. Sehingga lelang berakhir dengan harga yang kompetitif dan relatif tinggi. Akibat lebih lanjut dari hal tersebut adalah timbul kekecewaan dari Satker pemohon lelang karena harga terbentuk tidak sesuai dengan harapanya, atau bahkan “terpaksa” melepas objek kepada pihak ketiga karena kalah dalam jumlah harga penawaran.

Keadaan makin sulit dengan adanya bayang-bayang dari fenomena “mafia lelang” yang memanfaatkan kondisi persaingan pada lelang untuk mencari keuntungan pribadi, yakni dengan cara mengadakan “kompromi” dengan seluruh peserta lelang agar sepakat tidak mengajukan penawaran pada saat lelang dengan meminta imbalan kepada “calon pemenang lelang”. Ini bisa saja terjadi mengingat kemungkinan terjadinya perbedaan antara nilai limit dengan harga lelang yang akan terbentuk.

Hal ini dapat menyebabkan kendaraan dinas yang kemudian “dikanibalisasi” sebelum dilaksanakan penghapusan karena pejabat yang memakai dan merawat kendaraan selama ini pesimis bakal memenangkan lelang atas penghapusan kendaran tersebut. Proses “kanibalisasi” bisa berjalan dengan berbagai cara sehingga pada suatu saat yang tertinggal hanyalah seoonggok besi tua.

Bagaimanapun, Satker akan tetap mengalami dilema antara menetapkan nilai limit lelang dengan harga yang tinggi atau menetapkan nilai limit lelang dengan harga yang rendah. Satker menghadapi situasi sulit dimana harus menentukan pilihan dari dua kemungkinan yang keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Jika Satker mengusulkan nilai limit dengan harga yang rendah, ada kemungkinan bagi Satker terkait dituntut karena merugikan negara atas pengeloaaan BMN yang tidak optimal. Sementara dengan menetapkan nilai limit yang sama dengan nilai wajar, tetap ada kemungkinan tidak adanya peminat dalam lelang (karena salah satu anggapan/persepsi kebanyakan orang tentang lelang adalah harganya yang murah). Sehingga selain telah mengeluarkan biaya untuk melakukan seluruh persiapan  lelang, pengamanan, penjagaan dan perawatan atas barang tersebut masih harus tetap ditanggung oleh satker. Ditambah lagi jika ternyata harus dilelang ulang, Satker masih harus menanggung biaya pengumuman dan/atau seluruh persiapan lelang kembali.

Grey area

Mengenai perhitungan nilai limit penjualan BMN, hingga sekarang belum ada peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Saat ini  untuk penghapusan BMN dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui lelang kebijakan nilai limit penjualan BMN masih berdasarakan Surat Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan. Sehubungan dengan surat Dirjen KN tersebut, maka untuk keyakinan dan kepastian tanggung jawab Pengguna Barang dalam usulan penghapusan BMN, Satker Pengguna Barang harus menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit penjualan BMN yang akan dihapuskan.

Jika diperhatikan, tujuan awal dikeluarkannya Surat Dirjen KN tersebut adalah untuk memecah/membagi risiko dan memudahkan pekerjaan DJKN. Maksudnya, agar tanggung jawab penghapusan BMN tidak mutlak ada pada DJKN c.q seksi Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) KPKNL. Idealnya sudah tentu penilaian itu sebaiknya dilakukan oleh Penilai DJKN. Hanya saja jika dilakukan seperti itu semua risiko bisa ditanggung oleh DJKN. Laku atau tidak lakunya barang tersebut tanggung jawab ada di DJKN. Sementara penguasaan barang ada di Pengguna Barang. Artinya Pengguna Barang yang lebih tahu mengenai kondisi BMN. Sudah jelas karena Pengguna Barang yang mengusulkan anggaran kebutuhan, Pengguna Barang juga yang melakukan perawatan dan pemeliharaan. Ketika nilai limit lelang berdasarkan penilaian oleh Penilai DJKN lantas kemudian tidak laku, sementara Pengguna Barang sudah melepaskan tanggung jawab pemeliharaan dan perawatan, otomatis perlahan-lahan barang tersebut akan hancur. Selain itu Penilai DJKN jumlahnya sangat terbatas, sementara tugas yang ada relatif banyak. Jika tidak segera dilakukan penilaian, kondisi dan nilai dari BMN yang direkomendasi untuk dihapuskan akan terus menurun. Sulit untuk melakukan percepatan pelaksanaan penghapusan jika menunggu pelaksanaan dan laporan penilaian dari tim Penilai DJKN.

Dengan kondisi seperti diatas itulah yang menjadi argumen untuk mendukung bahwa untuk penilaian selain tanah dan/atau bangunan sebaiknya dilakukan oleh Pengguna Barang saja, asalkan nilai yang dihasilkan berdasarkan metodologi penilaian. Baik itu metode pendekatan data pasar maupun metode pendekatan biaya. Akan tetapi dalam pelaksanaanya Pengguna Barang terkadang terlalu menyederhanakan penilaian yang dilakukan. Sebagai contoh, Satker hanya mengalikan harga perolehan dengan persentase besaran nilai penyusutan BMN berupa kendaraan dinas yang akan dihapuskan.

Pada kenyataanya kondisi tersebut justru menciptakan suatu keadaan atau ruang yang bisa dikatakan sebagai “grey area” dimana setiap orang memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk bermain-main didaerah tersebut. Maksudnya seperti ini, karena tidak diaturnya secara tegas mengenai perhitungan nilai limit penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dalam hal ini khusus kendaraan dinas, dalam menentukan nilai limit penjualan BMN berupa kendaraan dinas, Satker yang berwenang mengusulkan nilai limit penjualan “dapat” menaksir nilai limit penjualan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan cara memperkirakan. Sementara DJKN c.q KPKNL melalui seksi PKN posisinya menjadi lemah justru karena SE Dirjen KN yang mangalihkan tanggung jawab kepada Pengguna Barang atas nilai limit yang diusulkan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh “oknum nakal” atau pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan untuk diri sendiri maupun golongan/kelompoknya. Bagaimanpun dengan adanya Surat Pernyataan Tangung Jawab Pengguna Barang atas nilai limit yang diusulkan dan dengan dipenuhinya syarat-syarat penghapusan oleh Satker Pengguna Barang, DJKN c.q KPKNL melalui seksi PKN tidak memiliki argumen dan/atau landasan yang kuat untuk menolak persetujuan penghapusan yang diusulkan oleh Satker Pengguna Barang. Tentu saja hal tersebut tidak mencerminkan pengelolaan BMN yang memenuhi asas fungisional, akuntabilitas dan kepastian nilai. Serta menimbulkan persepsi bahwa Satker diberikan kuasa penuh untuk mengelola BMN selain tanah dan/atau bangunan, padahal sebenarnya tidak dimaksudkan untuk seperti itu.

Nilai Residu dan Nilai Pasar Lelang

Nilai buku BMN dalam pembukuan, apabila umur BMN sudah lebih dari sepuluh tahun, maka nilai buku BMN tersebut seharusnya sudah nol (0) atau dengan kata lain sudah tidak memiliki nilai (menggunakan perhitungan akuntansi metode penyusutan garis lurus). Namun faktanya, nilai BMN yang telah berumur lebih dari sepuluh tahun tersebut tidak benar benar habis alias nol atau dengan kata lain masih mempunyai nilai. Pada BMN berupa kendaraan dinas yang telah berumur lebih dari sepuluh tahun, meskipun BMN berupa kendaraan dinas tersebut dianggap sudah tidak memiliki nilai ekonomis lagi, bukan berarti BMN berupa kendaraan tersebut tidak ada nilai residu atau nilai sisa riilnya pun juga nilai manfaatnya. Nah, nilai residu atau nilai sisa riilnya itulah yang kemudian menjadi nilai minimal untuk dimasukan ke kas negara atas penghapusan BMN yang dimaksud. Nilai residu yang dimaksud itu dapat merupakan nilai limit dalam proses lelang yang kemudian uang kas hasil lelang tersebut dikembalikan ke kas negara. Nilai residu yang kemudian nantinya akan menjadi harga lelang diusahakan untuk terus meningkat agar uang kas yang disetorkan ke negara sebagai PNBP diperoleh secara maksimal.

Kemudian yang harus dipertimbangkan adalah harga perolehan BMN bukanlah cerminan harga pasar terhadap BMN yang sama dan serupa di pasaran. Pengertian BMN sendiri merupakan semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau perolehan lainnya yang sah. Perolehan lainnya yang sah itu misalnya saja didapat dari hibah. Tentu saja BMN yang diperoleh dari hasil hibah harga total perolehannya tidak akan sebesar harga perolehan total dibandingkan jika membeli BMN yang sama dan serupa dipasaran. Penulis menyampaikan hal ini karena kebanyakan Satker mengusulkan nilai limit berdasarkan harga perolehan dengan besaran persentase nilai sisa BMN berupa kendaraan dari Dishub.

Hal tersebut jelas bukanlah suatu kesalahan jika memang nilai yang dihasilkan paling tidak hampir sama dengan harga yang ada di pasaran. Nilai yang diusulkan oleh Satker Penguna barang harus mencerminkan kondisi pasar karena harga barang di pasaran bisa saja naik dan bisa saja turun sewaktu-waktu. Satker harus cermat dalam penentuan usulan nilai limit BMN berupa kendaraan dinas yang akan dihapuskan. Meskipun belum tentu disetujui oleh Pengelola Barang, Satker Pengguna Barang tetap harus objektif dalam menentukan nilai limit. Bagaimanapun kendaraan dinas yang akan dihapuskan tersebut berada dalam penguasaan Satker Pengguna Barang sehingga Satker lah yang lebih mengetahui tentang kondisi barang. Penilai internal DJKN c.q KPKNL tidak memiliki wewenang untuk menilai jika tidak ada surat tugas. Sementara tugas Penilai DJKN c.q KPKNL sendiri masih banyak yang harus diselesaikan.

Dalam hal ini yang ingin disampaikan adalah Satker tidak harus menjadikan rekomendasi besaran persentase nilai sisa penyusutan dari Dishub sebagai dasar utama dalam menentukan nilai limit. rekomendasi besaran persentase nilai sisa penyusutan dari Dishub hanya wajib dipakai sebagai salah satu alasan untuk memenuhi persyaratan penghapusan.

Perlu juga diperhatikan bahwa dalam menetapkan nilai limit lelang baik Satker maupun DJKN c.q KPKNL yang menyetujui, perlu mempertimbangkan harga pasar lelang. Nilai wajar atau pun nilai pasar berbeda dengan nilai pasar lelang yang tidak menentu. Nilai pasar terbentuk dengan adanya penawaran dan permintaan yang terjadi di pasaran, atau nilai yang merupakan harga yang umum terjadi di pasaran. Konkritnya ialah rata-rata atau kisaran harga kendaraan jenis tertentu yang ada dalam pasar tertentu. Sebagai contoh misalanya, harga motor Suzuki Thunder tahun 2006 pada tahun 2012 di Jakarta berkisar antara 3-4 juta rupiah.

Sedangkan harga lelang terbentuk cenderung dikarenakan oleh kondisi lelang. Harga lelang merupakan harga yang terjadi akibat efek lelang yang bisa dipengaruhi oleh emosi peserta lelang, lingkungan, tempat pelaksanaan lelang itu sendiri, kecerdasan seorang asflager atau pemandu lelang bisa juga oleh Pejabat Lelang ketika menjalankankan proses lelang, termasuk seberapa besar ketertarikan peserta lelang terhadap barang yang dilelang. Meskipun anggapan kebanyakan orang tentang lelang adalah bahwa harga lelang itu murah, hal itu tidak dapat dibenarkan karena harga lelang merupakan harga yang kompetitif jika dalam pelaksanaan lelang prosesnya berjalan secara fair. Penjualan melalui lelang adalah penjualan terbaik jika dilaksanakan/berjalan secara ceteris paribus atau dengan kata lain tidak ada pengaruh negatif yang mengganggu jalannya proses lelang. Mulai dari tahap persiapan lelang, pelaksanaan lelang hingga pasca lelang. Sehingga terbentuk harga lelang yang benar benar kompetitif.

Solusi yang Belum Final

salinan S-3297/KN/2009

Pada dasarnya Surat Dirjen KN Nomor S-3297/KN/2009 bukanlah solusi final atau dengan kata lain solusi yang belum tuntas atas permasalahan perhitungan nilai limit penjualan BMN. Sebagai contoh, terciptanya grey area merupakan salah satu bukti konkrit ada indikasi timbulnya permasalahan baru.

Hakikat dari penyelesaian permasalahan diatas pada dasarnya sudah ada pada Surat Dirjen KN itu sendiri, dimana dalam surat tersebut disampaikan bahwa Pengguna Barang yang dimintakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab pengguna Barang atas Nilai Limit yang Diusulkan tetap berlaku hingga ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan tentang Perhitungan Nilai Limit Penjualan BMN dari Pengelola Barang. Namun yang perlu dipertanyakan, sejak terbitnya surat Dirjen KN yang dimaksud diatas hingga saat ini Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud belum juga ditetapkan. Produk hukum yang kemudian telah ditetapkan justru mengatur mengenai arestasi atau Pelimpahan Sebagian Wewenang Pengelolaan BMN Kepada Kanwil dan KPKNL yang termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan  Nomor 31/KM.6/2008. Sementara KMK tersebut bukanlah alternatif penyelesaian masalah yang ideal. Sebab pada intinya KMK tersebut masih menyangkut risiko yang semuanya tidak ditanggung oleh seksi PKN KPKNL, namun juga oleh instansi yang memiliki tugas membina KPKNL yaitu Kanwil dan termasuk juga Kantor Pusat DJKN. Jadi semakin besar nilai BMN, tangung jawabnya juga semakin besar sehingga layak menjadi tanggung jawab instansi yang posisinya lebih diatas. Karena itu wewenang persetujuan/penolakan atas usulan penetapan status, pemanfaatan, penghapusan dan usulan pemindahtanganan dibagi berdasarkan nilai BMN.

Hanya saja dalam hal ini terjadi tumpang tindih, Kanwil yang seharusnya selaku superintenden dan/atau pembina KPKNL jangan melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh kantor /pelayanan pun begitu dengan Kantor Pusat DJKN. Sepatutya -menurut hemat penulis-, dengan pelimpahan wewenang nilai yang berjenjang, sebaiknya menggunakan sistem “satu pintu” dengan artian KPKNL memegang kendali penuh atas pengelolaan BMN pada Satker sehingga ketika telah melampaui suatu nilai yang menjadi wewenang dari KPKNL, maka KPKNL harus berkonsultasi atau sharing dengan instansi yang berada diatasnya dalam mengambil keputusan atau dengan kata lain ada semacam asistensi baik dari Kanwil maupun Kantor Pusat DJKN sebagai supervisor. Kondisi yang tercipta seperti saat ini menimbulkan kesan bahwa DJKN terlihat seperti bermain di dua kaki, yakni sebagai regulator dan juga sebagai eksekutor.

Perlu diperhatikan bahwa Surat Dirjen Kekayaan Negara Nomor 3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan dan KMK 31/KMK.6/2008 tentang Pembagian Sebagaian Wewenang Pengelolaan BMN Kepada Kanwil dan KPKNL yang telah dikeluarkan dan ditetapkan belum tentu memenuhi prinsip/unsur-unsur bahwa pertama, tidak ada kerugian negara. Kedua kemudian apakah telah mengeliminasi kerugian negara, atau bisa jadi justru membuat kerugian negara yang lebih besar. Lagipula kita tidak berbicara tentang siapa yang paling bertangung jawab atas kerugian negara jika suatu saat ada pihak yang melakukan penuntutan/pemeriksaan atau bagaimana pembagian wewenang yang seharusnya. Tetapi mencari cara yang paling efektif dan efisien untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari nilai sisa BMN yang dihapuskan agar terlaksananya Pengelolaan BMN yang memenuhi asas fungisional, kepastian hukum, transparan, efisien, akuntabel, dan kepastian nilai yang didukung dengan ketepatan jumlah dan nilai dari BMN yang dikelola demi mendapat sebesar-besarnya manfaat untuk kemakmuran rakyat.

There is a will, thare is a way

Surat Dirjen Kekayaaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan yang pada awalnya untuk membantu dan melindungi Penilai DJKN serta untuk memecah risiko yang memikul tanggung jawab sangat berpotensi menyebabkan hilang/berkurangnya penerimaan negara. Surat tersebut akan terus berlaku hingga ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan mengenai Perhitungan Nilai Limit Penjualan BMN dari Pengelola Barang. Mungkin saja ada beberapa hambatan dan/atau alasan yang mendasari belum ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Hal yang penting diperhatikan adalah penghapusan dalam ruang lingkup Pengelolaan BMN adalah suatu keniscayaan. Jika siklus Pengelolaan BMN telah dimulai dengan adanya perencanaan dan penganggaran yang diikuti dengan pengadaan, penghapusan akan mutlak ada. Hal tersebut yang perlu dijadikan pegangan oleh semua pelayan masyarkat yang bertugas sebagai pengelola BMN.

Dalam hal penghapusan yang dibicarakan adalah mengenai nilai. Lantas DJKN sebagai pengelola kekayaan negara belum memiliki standar nilai dalam penghapusan. Saat ini yang telah diatur hanya umur dan kondisi BMN berupa kendaraan dinas sebagai syarat penghapusan. Walaupun bisa dikatakan penilaian itu ada kewenanganya, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa wewenangnya hanya dibatasi dengan tanah dan/atau bangunan?

Pemberian wewenang dalam melakukan penilaian selain tanah dan/atau bangunan kepada Satker Pengguna Barang dimaksudkan karena Satker Pengguna Barang lebih mengetahui kondisi barang yang berada dalam penguasaanya untuk dihapuskan. Namun kesan yang terlihat di permukaan justru seperti terjadinya suatu konflik yang berakhir dengan kompromi dalam bentuk pelimpahan wewenang penilaian kepada Satker dan pelimpahan sebagian wewenang persetujuan/penolakan penghapusan/pemindahtanganan kepada Kanwil dan KPKNL. Oleh karena penghapusan dalam pengelolaan BMN merupakan suatu keniscayaan, kesan kompromi yang sering terlihat akhirnya membentuk suatu kesimpulan bahwa dengan membuat surat pernyataan bertanggung jawab, kemungkinan usulan penghapusan disetujui akan semakin besar, yang seakan-akan Satker menjadi memiliki kuasa atas penghapusan BMN. Disinilah letak “grey area” yang tercipta karena belum adanya peraturan yang mengatur secara tegas. Sementara wilayah abu-abu tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi atau untuk golangan/kelompoknya.

There is a will, thare is a way. Suatu peraturan ditetapkan semestinya untuk kebaikan semua pihak. Terlebih lagisemua pihak baik yang mengelola, menggunakan maupun yang menguasai BMN adalah abdi negara yang bekerja untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga harus mengesampingkan kepentingan pribadi. Pemegang kunci utama dalam polemik ini ada pada Menteri Keuangan c.q DJKN selaku pengelola kekayaan negara khususnya BMN. Apapun tantangannya, selama ada kemauan pasti ada jalan. Membuat Peraturan Menteri atau mengubah suatu Peraturan Pemerintah memang bukan perkara mudah, begitu juga ketika nanti dalam pelaksanaanya. Namun bukan berarti membiarkan kondisinya tetap seperti ini. Ada banyak cara untuk mencoba memperbaiki kondisi ini. Beberapa contoh misalnya, menambah jumlah SDM Penilai DJKN, atau membuatkan ketentuan cara menilai/memperoleh nilai kepada Satker, dan bisa juga dengan mendidik dan mensertifikasi pegawai Satker Pengguna Barang sebagai Penilai. Hal terpenting yang mesti dilakukan adalah memperbaiki sistem yang ada saat ini melalui peraturan/perundang-undangan yang secara tegas memenuhi asas-asas dan prinsip pengelolaan Barang Milik Negara.

Dialog optimalisasi BMN yang akan dihapuskan

X:   yang kamu liat sekarang ini solusi menggunakan surat keterangan pertanggungjawaban itu adalah solusi tidak final. Solusi tidak tuntas untuk masalah penilaian BMN.

Y:   Tentang surat tadi, yg tidak menyelesaikan masalah bukanya itu ketika terjadi kerugian negara berarti pengguna barang yg bertanggung jawab

X :   kita bukan bicara masalah tanggung jawab , masalah meminimalkan kerugian negara bukan hanya mencari siapa yg bertangung jawab. Prosedurnya yang harus dibenerin. Prosedurnya ini yg sedang kita cari dengan cara tdi sesungguhnya bukan solusi

Ex: org kepingin badanya bagus harusnya dia olahraga, tp malah dia disuntik, kl lama2 dia brgntg sm yg seperti itu dia tdk akan sehat. Pembenaranya ia bsk saya mau lomba jd saya harus, Kan pmbenaran tu hanya untuk satu alasan tidak untuk alasan selama2nya.

Jadi sejak semula maslahnya ada di peraturan, kan peraturanya memang mnyuruh/mengatur bhw yg pny tnggng jwb adlh si pengguna barang. Krna pguna barang yg punya akhrnya ketika            kompromi dgn DJKN untuk penghapusan dan DJKN tidak sepakat dengan nilai limit penghapusan dari penggunanya maka dibuatlah surat itu. Kan surat it surat kompromi tp kompromi yg tidak sehat.

Y:   jd yg saya kritisi itu peraturan dan prosedurnya saya coba ksh solusi

X:   ya cari solusi dan juga ulas di pembahasan bahwa solusi berupa surat ketrgn brtnggjwb bukan solusi sesungguhnya karna kan menimbulkan maslh baru. Apa mslh bru nya?

Apakah kemudian dg surat tadi itu memnuhi prinsip/unsur : 1.bhw tidak ada kerugian negara, 2. Apakah memang benar akan terjadi pengeleminasian kerugian negara 3.apakah memang kemudian itu malah membuat kerugian negara yg lebih besar?

Orang meliahat itu sebagai suatu produk yg diijadikan dasar dikemudian hari.

Contoh :SKPT, saking saktinya bisa menghindari lelang yg diatu UU oleh pejabat negara dg biaya segitu mahal hanya tutup gk blh dilaksanakan hanya sekedar oleh SKPT. Krna SKPT     sakti.

Kl mslh ini surat keterangan shrusnya tdk segitu hebatnya sehingga harus membatalkan lelang. Sebuah dokumen yg dapat membatalkan lelang.

Ketika kita melembagakan sebuah surat tnp melihat koridor kekuatan hukumnya secara benar kita tu sedang menjebak diri sendiri

Y:   untuk solusinya?

X:   banyak..

Adalah kenapa kq tidak dibiknkan prosedr. Aturan main mengenai …………………………Xlelang

Y :   tp faktanya kn tdk smudah itu pak

X:    betul.. tp the biggest problemnya bukan tentang tidak semudah itu, mudah atau tidak itu lebih ke ada will (kemauan)  if there is a will-way

Kenapa solusinya dilbilang sulit, sulitnya dimana? Sulit dikordinasikan gak.

Malash initi dlm penilaian penghapusan itu ya,. Penghapusan itu kan suatu keniscayaan .dalam     pengelolaan itu yg harus dijadikan pegangan oleh kantor pusat. Penghapusan itu yg dibicarakan adalah nilai. Sekarang kenapa kok nilai itu tidak distandardisasi sbgai kewenanganya DJKN semua umpanya.

Kalau dibilang penilaian itu ada kwenangan, knp kok wewngny hnydibatasi dgn tanah dan/bangunan? Apa aasan plg masuk akal ktk diatur hanya BMN berupa tanah dan/bangunan ad di DJKN selain itu tdk di DJKN

Y:   jwbny tntg SDM jg tentang biaya

X:   bukan itu itu bukan maslahny. Krna mslhny itu maslaah asas materialitas (ya kalau tnh bngunan itu bernialai). Itu pun tetap harus ada knfrmsi. Takut kl it yg dikejar. Gini areestasi, knp kq yg TB hrs perstujuan DPR dsb

Y :   DJKN blg mereka ingin di fix kan apakah sebagai reguator atau eksekutor

X :   kl itu kmu blg msh mslh, mereka mencari mslh sendiri. Mereka ingin main di dua kaki. Dia pemain, dia regulator.buktinya PKN SI itu ada di kantor operasional di pusat. Itu gak boleh. Permslhny dikembalikan lg apakh mrka ekskutor atau regulator. Knp kok dirkotrat penilaian melakukan 22 ny sprti itu. Hrsny kn gk boleh.

Y :   namun bukankah dari segi organisasi itu memang merupakan pembagian wewenang yg plg memungkinakn

X :   kenapa gk semuanya di operasinal dengan asistensi atau adanya perwakilan kanotr pusat.. ya itu jauh lbh benr krna kwenangnya sdh didaerahkan

Kl dia mmg mengesekusi jgn lg bkn 5-10-15 bs dgn bnyk cr lain, slh satuny dg asistensi td.

Malah bukan hany itu saja. Ketika organisasi itu sdh membuat sebuah sistem perbaikan sdm yang berkelanjutan dg pndidikn melalui CPD, continuer progress sgla mcm tu gk perlu cpk2. Dia cm mensosialisakn, ad mlsh dia buat kebiajakn. Dia yg memutuskan dg kewenangan. Pembuatan kebijakn di kntr pusat itu pasti conflict of interest tinggi skali

——————————————————————————————

T:   kl memang ada yg tdk mau ribet biasayanya mereka memintakan surat pernyataan bahwa itu mnjd tngg jwbny masing2. Tangung jwb penuh itu ad di K/L. Kita sendiri si pengenya semua penilaian semua nilai yg dihasilkan berdasarkan metode penilaian. Maunya kita tapi kondisinya saat ini ya sama pi sekarang ya kayak gitu jadinya. Jd kita mainya di pengelola aja. jd pengelola kita harapkan spaya kl mereka mendapatkan permohonan penghapusan ada nilai limitnya, ditanya dulu nilai limitnya berdasar darimana dari penilaian atau hanya sekdar evaluasi dari mereka saja. Taksiran meraka na itu…misalnya hanya taksiran kita minta kpknl menilai

Y:   jadi kedepanya tetep kayak gini tanpa progress pa apa gitu. Maksudnya gini, kl emang gitu kenapa gak sekalian diperaturan buat kalo ad yg mau menghapus barang sm kyk TB penilaianya dr DJKN atau KPKNL. apakah krna keterbatsn sdm atau krna yg lain

T:   kebijakan/jawbanya ada di pertempuran dilevel atas.kl lita berpikir enak ya enak.. bs aja diubah tp ngerubah suatu PP bukanya perlu waktu 1 atau 2 bulan tapi bisa tahunan

Di pp 38 it kan br revisi pasal 39, 40 ny kan belum . tp untuk ngubah it aja sdh 2tahun belum berhsl. Intinya begini . it ada plus dan minus nya. Jadi kalo kita minta semua penialain itu ada di djkn itu artinya tanggung jawabny itu ada di kita, laku gk laku ny barang itu ada di kita. Semntara penguasaan baran ada di mereka di pengguna. Artinya mereka yg harus menyediakan anggaran, perawatan, pemeliharaan, mereka lelang kita yang nilai trus gak laku.

Ketika gak laku sementara mereka sudah melepaskan tangung jawab pemeliharaan otomatis barang tersebut akan hancur. Itu salah satu pendapat yang mendukung untuk penilaian selain TB gakpaa biar pengguna barang saja

Pada posisi tersbut kia berpendapat oke di penguna asalkan nilai yang dihslkan berdasarkn metodologi penilaian

Y:   Gimana  mau pake metode penilaian, kl mereka cm pake rekomendasi dllajr x hrga perolehan.

T:   ada dua hal yang memang harus dilakukan. Jadi di PP 6 itu yang harus diubah tgl nanti ap yg dijdkn di DJKN itu apakah sbg eksekutor atau regulator. Kalau sebagai regulator maka kita akan membuatkan ketentuan cara menilai/memperoleh niali tu begini kita akan mendidik mereka melakukan penilaian dan kita akan mensertifikasi mereka sebagai penilai

Kl kita sebagai eksekutor maka kita yang akan melakukan itu. Kita membuat ketentuan kita sendiri dan pp 6 nya akan diubah

Y:   faktanya kebanyakan ke dllajr

T:   itu tdk jadi mslh sbnrny, dllajr itu memiliki keahlian/advertise ny itu di kondisi bukn nilai. Ketika masuk ke nilai ke kita.

Masalhnya kondisi mereka kalikan dengan harga perolehan bukan nrc saat ini. Itu karena memang belum ada ketentuan yang menyatakan kl cara penilaian t hars begitu ya mereka gak salah. Itu memang komplikasi ketentuan kita yang msh membingungkan

Kl merapikany ya di PP, pp disini ngmngny bukan kemenkeu saja tapi harus ke sekneg ke PU ke Menpan kemudian ke beberapa kementrian lain. Ini yang susah.

Kl it gol/selsai,..dapet, baru kita bisa preteli PMK ny, bagaimana perdirjeny bagaimana trus disesuaikan semua.

Saya sebagai pribadi lebih sebagai regulator. Menurt saya gk pp ada penilai di K/L, pemda tapi pembinaanya djkn. Kl disini mayoritas pgn jd eksekutor jd gk ad lembaga lain yg bisa menghsilkan nilai selain disini. Jelas ad plus minusny.

Plus semua data bisa kita ambil, dan bisa memelihara kualitas hasil penilaian, kl jd regulator lebih sulit dalam menjaga kualitas hasil penilaian krn yg dinilai it bnyk sekali dan kemudian penilai it menjadi bukan suatu yang eksekutif lagi bukan orang yang langka lagi. Semua ada. otomatis DJKN ny sendiri gk terlalu…….pak dirjen yang mesti mutusin

SE sesdirjen jd gk slh mrka. Tp kan kita disini memandangnya ada potensi penerimaan negara yg hilang/berkurang

  • #petikan diskusi bersama akademisi dan teknisi kekayaan negara

ilustrasi saja

Di suatu samudera, terdapatlah dua pulau yang bertetangga. Sebut saja pulau Aya dan pulau Baya. Di pulau Aya, suku Aya hidup sejahtera. Mereka dikaruniai daratan subur. Pertaniannya menghasilkan aneka sayuran dan buah buahan tropis. Ikan dan sumber daya laut sangat melimpah. Tidak hanya itu, pulau Aya juga memilik panoroma yang indah. Sungai sungai nya jernih. Dataran tinggi, rendah, gunung, lembah dan hutan semuanya seakan terhampar untuk menyejukan mata yang memandangnya.

Suku Aya memiliki peradaban yan cukup maju. Mereka beruntung, pulau yang mereka tempati menghasilkan emas. Dan mereka berkerja keras untuk mendapatkan logam mulia itu. Hampir semua anggota suku memiliki emas dan menyimpanya di rumah rumah mereka.

Selain itu, mereka juga menggunakan emas tersebut sebagai alat transaksi. Sejak Simoeh –sang ketua suku-, mencetak koin emas, maka semua transaksi jual beli yang semula dilakukan dengan barter beralih dengan diukur dengan emas. Berdagang pun lebih mudah dan simpel.

Meski begitu, mereka tidak mendewakan emas sebagai satu satunya percapaian. Kehidupan sosial mereka tampak lebih penting. Ini bisa dilihat dari cara mereka saling tolong menolong. Ketika anggota suku memperbaiki rumah karena tersapu ombak (yang berarti mengancurkan rumah dan menghanyutkan emas emas nya), anggota yang lain dengan suka rela meminjamkan emasnya dan tidak memaksa untuk mengembalikan, apalagi sampai ditambah charge atau biaya tambahan lain.

Mereka juga bergotong royong satu sama lain dengan ikhlas. Meski hidup sederhana, suku Aya diliputi kesetiakawanan yang tinggi. Mengatasi persoalan bersama. Hidup rukun dan damai.

————————————————————————————————————————–

Sementara tetangganya, pulau Baya. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani. Mengolah lahan di sawah dan memelihara ternak. Sebagian lagi memiliki keahlian khusus, memeproduksi kerajinan tangan.

Dibanding suku Aya, hidup suku Baya lebih sederhana. Mereka masih mengunakan sistem barter dalam transaksi keseharian. Anggota suku yang menghasilkan padi menukar berasnya dengan kerajinan tangan atau sebaliknya. Boleh dibilang, secara ekonomi kesejahteraan mereka dibawah suku Aya. Mereka memang kebanyakan pekerja kasar. Mereka tidak memiliki pusat kota yang indah dan maju layaknya pulau Aya. Sesekali mereka menjual hasil bumi dan handicraft mereka ke suku Aya. Mereka –apalagi para wanitianya- sangat senang menerima koin emas sebagai jasa dari padi atau kerajinan tangan yag mereka hasilkan.

Meski pun berbeda dalam hal kesejahteraan, ada satu persamaan yang menonjol antara suku Aya dan Baya ; Mereka sama sama hidup rukun, damai dan saing tolong menolong. Mereka sering besilahturahmi dan menjalankan ritual agamanya dengan tenang.

—————————————————————————————————————————

Ya, dan semuanya berubah ketika datang tamu istimewa ke suku Aya. Berpenampilan parlente, dua orang asing turun dari kapal yang berlabuh di pulau Aya. Jono dan Lono, begitu mereka memperkenalkan diri. Kedua turis ini disambut dengan suka cita. Simoeh dan pembantunya sangat terkesan dengan kisah Jono dan Lono yang sudah melanglang buana. Sebagai bukti, kedua orang ini memamerkan koin emas asing yang mereka kumpulkan dari berbagai tempat yag mereka singgahi.

Ada hal yang sangat menarik bagi Simoeh dan punggawanya, yakni kertas yag dinyatakan sebagai uang. Jono lalu menjelaskan bagaimana uang kertas jauh lebih efisien daripada koin emas yang biasanya dipakai suku Aya. Itulah kenapa uang kertas ini sudah dipakai di negara yang jauh lebih maju dibanding tempat mereka tinggal. Jono dan Lono yang mendapat respon positif, semakin bersemangat menjelaskan uang kertas ini pada tuan rumah. Lalu mereka mengenalkan mesin pencetak uang.

“Gambar anda nanti terpampang dalam lembar uang kertas ini”, Jono menunjukuang kertas sambil tersenyum kearah Saka. “Benarkah?” sela Simoeh berbinar. Dalam hati Simoeh girang bukan kepalang. Seumur hidupnya, tidak ada orang yang memberikanya penghormatan seperti yan dilakukan kedua tamunya ini.

Setelah diyakinkan bahwa mata uang kertas akan sangat membuat perekonomian suku Aya lebih efisien, akhirnya sebuah institusi bernama bank pun didirikan. Bank akan menyimpan deposit koin emas mereka, lalu uang deposan ini –hanya sekedar taktik- bisa dipinjamkan kepada suku lain yang diperlukan. Dengan demikian, kesanya semua sumber daya yang ada menjadi optimal karena dialokasikan untuk kegiatan ekonomi produktif.

Suku Aya yang suka membantu berpikir lembaga ini sangat luar biasa karena bisa melanjutkan tradisi mereka membantu orang lain.

Hampir semua anggota suku Aya menyimpan koin emas mereka di Bank Aya (yang dimotori oleh Jono dan Lono). Sejumlah 100.000 lembar uang kertas diserahkan, yang berarti Bank aya menerima 100.000 lembar koin emas. Tak terasa akhirnya penduduk pulau Aya begitu menikmati uang kertas itu. Mereka merasakan dengan mengunakan uang kertas itu, transaksi yang mereka lakukan jauh lebih simpel dan nyaman.

Praktis makin jarang yang memakai koin emas dalam transaksi sehari hari. Hingga uang kertas menjadi mata uang dominan. Kenapa mereka begitu? Karena uang kertas yang memiliki nominal angka sangat memudahkan transaksi, apa yang dijual atau pun yang ingin dibeli untuk kebutuhan sehari hari -baik barang maupun jasa- sekarang telah meiliki nilai dalam bentuk satuan angka, juga sangat mudah untuk menyimpan uang kertas tersebut karna ringan dan bisa dilipat. Selain itu mereka juga dengan mudah menukarkan uang kertas dengan koin emas mereka. Dalam hal ini, Jono dan Lono sangat menjaga kepercayaan. Setiap kali ada yang menukarkan, kali itu juga koin emas diberikan. Demikian seterusnya, sehingga suka Aya tidak perlu khawatir dengan emas miliknya. Toh kalau mereka mau, mereka bisa menukarkanya kapan saja.

————————————————————————————————————————–

Apa yang terjadi di pulau Aya terdengar juga di pulau Baya. Suku Baya memuji dan ingin sekali praktik yang sama diterapkan di pulau mereka. Dari yang semula jual beli dengan barter, akan diubah menjadi sistem canggih yang membantu mereka melakukan transaksi dengan mudah dan efisien.

Diutuslah duta untuk menemui Jono dan Lono. Mereka minta agar sistem yang sama diterapkan juga di pulau Baya. Jono menyanggupi. Dibukalah cabang Bank Aya di pualu Baya dengan Lono sebagai manajernya. Bedanya, dipulau Baya sedikit penduduknya yang memiliki koin emas.

“Anda tak perlu kecil hati, tanpa koin emas pun anda bisa mengeyam kenikmatan sebagaimana tetangga anda di pulau seberang” kata Lono menghibur. Tentu saya suku Baya gembira mendengarnya.

Begitulah. Lono membagikan uang kertas. Ada 100 kepala keluarga dipulau Baya, masing masing diberikan 1000 lembar uang. “Karena anda tidak menyimpan koin emas seperti pulau sebelah, anda bisa bertransaksi dengan uang yang saya berikan. Harap diingat uang yang saya bagikan tidak gratis. Ini adalah pinjaman. Setahun dari sekarang, anda harus mengembalikan uang ini plus 100 lembar uang tambahan”.

“Kenapa harus ada tambahan 100?” kata pemuka suku Baya.

“Betul anda memang meminjam 1000, yang 100 tadi itu adalah untuk membayar jasa yang telah kami sediakan” jawab Lono sambil tersenyum.

Meski ada yang mengganjal, penjelasan Lono cukup untuk mereda naluri kritis suku Baya. Terlihat dari tidak surutnya minat warga Baya mengambil tawaran Lono. Paling tidak, mereka bisa dengan mudahnya bertransaksi.

————————————————————————————————————————

Lama berselang, dari pengamatan Jono, di pulau Aya, rata rata hanya 10% uang kertas yang ditukar ke koin emas di setiap waktu. Sisanya 90%  emas tetap berada di kotak penyimpanan Bank Aya. Mencermati bahwa uang kertas sudah merajai alat tukar Jono pun mengambil langkah strategis.

Jono lalu mencetak uang kertas lebih banyak. Tidak tanggung tanggung hingga 900.000. Dalam kalkulasinya, jumlah ini, ditambah yang telah dibagikan sebelumnya, totalnya ada 1.000.000. Kalau pun ada yang mau menukarkan uang ini dengan koin emas, berdasarkan pengalaman, hanya 10% saja. Jika pun itu benar benar terjadi, ia masih menyimpan 100.000 koin emas yang tidak lain adalah koin yang sudah disetor suku Aya. Setidaknya Jono masih memiliki cadangan koin emas yang cukup.

Lantas ia pinjamkan 900.000 lembar uang kertas yang baru dicetaknya kepada warga Aya yang memerlukan. Kalau tadi di pulau Baya, Lono mengutip tambahan ekstra sebesar 10% dari pokok,  Jono yang merupakan manajer Bank Aya meningkatkan bunga hingga 15% yang artinya, jika sesorang meminjam 1000 lembar uang kertas, diakhir tahun ia mesti mengembalikan 1150 uang kertas, dimana 150 nya adalah charge dari layanan yang ia berikan.

Pelan tapi pasti, setahun pun berlalu. Penduduk pulau Aya merasakan harga harga kebutuhan barang dan jasa naik. Mereka tidak tahu penyebabnya apa. Banyak dari mereka yang meminjam  uang mengalami gagal bayar. Mereka bukan pemalas apalagi pengangur. Tapi meski telah berkerja keras, mereka masih kesulitan meluniasi hutang berikut bunganya.

Dan mereka memang tidak akan pernah bisa melunasi hutangnya!!!!!!.

Lihatlah, uang yang dipinjamkan  900.000 bila ditambah bunga 15%, berarti 135.000 atau jumlah total mencapai 1.135.000. Padahal, jumlah uang yang dicetak dan diedarkan hanya 1.000.000 (100.000 diberikan sebagai ganti 100.000 keping koin emas, ditambah 900.00 yang dicetak Jono).

Dan begitulah, sistem yang diperkenalkan Jono dan Lono mengubah watak bisnis kekeluargaan menjadi bisnis yang individual kompetitif. Kehidupan sosial mereka yang harmonis, penuh toleransi dan tolong menolong perlahan luntur. Masing masing kepala –apalagi yang berhutang- harus berkerja keras dan hanya fokus untuk mengejar uang demi melunasi hutangnya. Prinsip saling membantu berubah menjadi time is money. Masing masing mulai terbebani untuk berusaha keras demi kepentingan masing masing.

Begitu pula yang terjadi di pulau Baya. Awalnya mereka tidak menyadari. Namun, lambat laun mereka merasakan perubahan. Kebutuhan pokok yan duluya cukup ditukar dengan barang kerajinan atau sebaliknya, kini mulai bermasalah. Mereka tidak tahu kenapa tanpa terasa, dengan berlalunya waktu harga harga terus merambat naik. Padahal mereka telah membanting tulang dan berkerja lebih keras. Kerja sama antar warga yang semula menjadi tradisi lama kelamaan mulai luntur. Mereka menjadi egois, diburu kebutuhan masing masing. Toh di akhir tahun tidak semua bisa membayar kewajibanya. Seperti dialami suku Aya, suku Baya pun banyak yang default alias gagal bayar.

Oleh Jono dan Lono,  kepada para penunggak sebagian disuruh berkerja padanya sebagian ada yag dipaksa membayar. Caranya, dengan menyita harta benda mereka. Rumah, sawah, ternak dan maupun harta benda lainya pun segera berpindah tuan. Sementara sebagian lain yang memiliki hubungan baik dengan Jono dan Lono diberi kesempatan untuk memperpanjang masa angsuran. Kebetulan pemimpin suku Baya yang bernama Bambang, yang juga menunggak hutang, memiliki hubungan dengan Lono, sehingga atas nama “kebaikan”, Lono bukan hanya memberikan tambahan waktu menganggsur hutang, tapi juga memberikan tambahan hutang baru dengan dalih agar Bambang memiliki modal dan bisa melancarkan kegiata produktifnya. Namun alih alih bisa bayar di periode berikutnya, Bambang kembali tak bisa melunasi hutang nya.

Malu tak bisa melunasi hutang nya, Bambang menarik diri dan menghindar bertemu dengan Lono. Ia mulai kehilangan kepercayaan diri. Kewibawaanya sebagai pemimpin suku Baya berbalik ke titik nadir. Sementara Lono yan semula berlagak membantu, kini tinggal melaukan eksekusi. Ia pun semakin kaya dan berlagak sebagai Tuan Besar, dan tertawa wkwwkwkwkwkwk. 😀

—————————————————————————————————————————————

Beberapa tahun berselang, Jono dan Lono yag semula datang  ke pulau Aya dan Baya dengan modal mesin pencetak uang,  kini telah memiliki hampir semua kekayan di dua pulau tersebut. Mereka menguasai ekonomi dan properti. Lambat laun, dengan uang, mereka mengusai politik di kedua tempat tersebut.

Sementara masyarakat di ke dua pulau tersebut tingalah sebagai pekerja kasar. Kemiskinan tiba tiba menjadi masalah yang terus menyebar. Mereka berkerja keras untuk hasil yang sedikit. Mereka kehilangan waktu untuk saudara dan tetangga. Mereka semakin jarang melakukan upacara keagamaan karna terlalu sibuk berkerja.

Kejahatan pun merebak, karna tak bisa bayar hutang, mereka mengorbankan anak bahkan istri sendiri untuk diperbudak. Pencurian dan perampokan menjadi sering terjadi. Prostitusi yang semula tabu, seperti menjadi budaya baru bagi mereka. Budaya lokal lambat laut punah. Kemudian semua budaya yag datang dari Jono dan Lono dianggap superior.

Jono dan Lono telah menguasai semua, tak ada yag tersisa : ekonomi, budaya, hingga politik telah mereka kuasai. Bahkan saat mereka bertindak jahat termasuk melaukan tindak asusila di tempat itu pun, keadilan bisa mereka beli dengan uang.

tentang uang .. (awal)

“Barangkali ada bagusnya rakyat amerika pada umumnya tidak mengetahui asal usul uang, karena jika mereka mengetahuinya, saya yakin esok pagi akan timbul revolusi”

(Henry ford, pendiri perusahaan mobil Ford)

“Kalau yang terpenting dalam hidup saat ini adalah meneruskan hidup, maka apapun pekerjaan dan kegiatan yang kita lakukan, semata mata tertuju untuk mencukupi dan menghiasi hidup. Lebih lugas lagi, mengumpulkan materi untuk menyambung hidup”

Itu yang dikatakan bpk. A.Riawan Amin di bagian pengantar pada paragraf pertama dalam bukunya “SATANIC FINANCE”. Lebih lanjut lagi, saya tidak bisa memungkiri bahwa memang benar, hidup bukanlah hal terpenting. Saya tidak bilang bahwa menyambung hidup itu tidak penting, namun memaknai hidup jauh lebih penting

Ya, memaknai hidup. Bagi diri kita sendiri dan orang lain. Bukankah tauladan kita telah berpesan bahwa sebaik baik manusia adalah manusia yang bermanfat bagi orang lain???
Lebih dari itu, melakukan segala hal -sekecil apapun- dalam rangka pengabdian diri kita terhadap Sang pemilik hidup merupakan suatu perbuatan yang menurut saya tidak terdefinisikan jika bukan atau tidak dapat disebut sebagai yang terpenting, yang sangat utama yang perlu kita lakukan dalam hidup ini.

Dari situlah, sebagai penikmat teori konspirasi, saya hanya ingin berbagi, berharap yang saya lakukan ini benar di mata Tuhan dan bermanfaat bagi siapapun yang memerhatikan apa yang yang saya lakukan.

Seluruh aspek kehidupan hampir semua nya dikuasai oleh zionis yahudi, tidak terkecuali aspek ekonomi dan keuangan tentunya. Termasuk yang terpenting bahkan, dengan itu bisa menjadikan manusia melakukan kejahatan, permusuhan, kebencian, kedengkian karena bisikan bisikan setan.

Mungkin kita sudah banyak yang tahu bahwa “tugas” setan ialah mengelincirkan manusia ke jurang neraka.Dengan menyerang pribadi pribadi sesorang, seperti yang dilakukanya terhadap adam dan hawa. Ternyata tidak hanya seperti itu. Tanpa mengabaikan aspek yang lain -seperti media dan penggelapan sejarah-, aspek keuangan bisa menyebabkan kerusakan yang menyesengsarakan umat manusia dalam skala masif.

Penetrasi melalui ekonomi? Merekayasa keuangan? Bisa jadi masih asing ditelinga kita,tapi ternyata itulah yang terjadi. Ingat saat indonesia mangalami krismon diera 90an? Bahkan tragedi ekonomi itu menyapu hampir seluruh kawasan di asia tenggara. Apa yang terjadi pada masa itu?

Tepat. Kemiskinan!!!! Kemiskinan dan kemelaratan cepat merebak. Semula kaya jadi miskin, apalagi yang miskin. Banyak yang tiba tiba menggangur, hidup jadi makin sulit. Bahkan beberapa yang frustasi mengatakan “jangankan cari yang halal, yang haram aja sulit!!”.

Ya zionis bersuka karna semakin mudah untuk mengendalikan hidup manusia yang mereka anggap sebagai kera kera, dan setan pun tertawa karena melalui pintu kemiskinan, akan mudah membawa manusia ke pintu kekufuran.

Terjadi karena kebetulan kah itu??

Sayangnya tidak. Ada aktor dan sutradara yang berperan dibalik itu. Tentu saja Tuhan pun melihat dan menguji manusia manusia beriman dengan membiarkan terlebih dahulu si aktor dan sutradara tadi beraksi.

Itulah yang akan jadi ulasan kita, sila baca satanic finance yang ditulis oleh mantan direktur bank muammalat, bpk A. Riawan Amin dan Era muslim diggest edisi ke 8. Masih banyak lagi buku yang membahas tentang satanic finance. Refrensi yang saya sebut barusan hanya alternatif saja. 🙂  Saya pun akan berusaha menuliskanya secara bertahap di sini, insya alloh.

bening

Merujuk ukuran kebaikan pada arahan Allah & jalan hidup RasulNya adalah keinsyafan mulia yang kadang sangat menyesakkan dada

Seperti yang dilakukan ‘Umar ibn Al Khaththab ketika bergunung-gunung harta Kemaharajaan Persia kilau-kemilau memenuhi Madinah.

Semua mengucap selamat & doa-doa indah atas keberhasilannya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Allah, memakmurkan muslimin.

Tapi di pojok sana, sang Khalifah menangis tersedu-sedu. Di hamparan intan, emas, & segala benda mewah, airmatanya tumpah.

“Mengapa kau menangis hai Amirul Mukminin?”, tanya seorang sahabat, “Bukankah Allah telah bukakan keberkahan langit & bumi bagi ummat ini melalui tanganmu?”

Maka ‘Umar mendongak dengan mata memerah & pipi basah, “Dusta! Demi Allah ini dusta!! Demi Allah bukan begitu! Sebab andai semua ini kebaikan”, ujarnya menunjuk tumpukan berlian & mas-kencana, “Mengapa ia tak terjadi di zaman Abu Bakr; juga tidak di zaman Rasulullah? Maka demi Allah, ini semua pasti bukan puncak kebaikan!”

Sungguh pandangan jernih, harta berlimpah itu bukan kebaikan, SEBAB jika ia KEBAIKAN; harusnya terjadi pada ORANG TERBAIK.

Sedang sabda Nabi adalah benar; “Sebaik-baik kurun adalah masaku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang mengikutinya.”

Maka adakah hari ini kita menimbang kebaikan yang melimpahi dengan ukuran orang-orang terbaik, soal rizqi, ibadah, dakwah?

Indah direnungkan sejenak,.. keluarga, pekerjaan, jabatan, kekayaan, kemasyhuran kita, apakah ia baik di sisi para teladan?

Begitulah; kebaikan harus kita tanyakan pada para insan terbaik, seperti Abu Bakr yang menangis kala sahabat lain gembira.

Surat An Nashr; dibaca oleh umumnya sahabat sebagai tibanya kemenangan, jayanya agama Allah, gempitanya insan berislam.

Tapi bagi Abu Bakr ia duka mendalam, selesainya tugas Rasul, wafatnya beliau, terputusnya wahyu, & dimulainya kemunduran.

Maka selalu ada pesan tersembunyi yang mengoyak batin di tiap hal yang pada zhahirnya dipandang manusia sebagai kejayaan.

Bahkan bagi sang Nabi, seperti terpampang dalam ayat yang baru saja kita sebut;

 “Jika datang pertolongan Allah & kemenangan dan kamu lihat manusia berbondong-bondong memasuki agama Allah..”

Betapa manisnya, betapa indahnya, betapa mulianya.. telah tiba waktu memetik buah dari perjuangan yang getir & pilu, dari dakwah beliau yang berkuah keringat, darah, air mata..

Tapi kalimat berikutnya menyentak kesadaran, halus & tajam;

 “Maka bertasbihlah memuji Rabbmu & mohonlah ampun kepadaNya..”

what i was told

there was a time where you said i was your hero,

so even with no super powers, no costumes, no armour, i grew in mind that i will be the one responsible for the hero choirs .

who knew that time would grow to fade the innocent faith,

yet alone build who you’re meant to be ..

what i was told is like the dough, and time will give you the toppings .

innocence will always remain as the flour, the main ingredient of dough .

yet alone is what you are ..

 

 

Realita : di luar atau di dalam

Suatu hari, seorang pemuda paruh baya , sedang berada di dalam bis kota. Ia berjalan mendesak-desak di dalam bis di antara kerumunan penumpang, hendak mencari pintu keluar. Tujuannya sudah terlihat: Terminal Lebak Bulus. Pemuda itu sudah bersiap di pintu bis sambil salah satu tangannya memegang tas punggungnya yang berat.  Beberapa jurus kemudian, bis sudah semakin melambat dan hampir berhenti.

Dari samping pintu bis, seorang pria berbadan besar menghadang pintu keluar. Sekarang bis sudah benar-benar berhenti, dan pemuda itu secara refleks melepas pegangan tangannya dari pintu, melompat ke luar bis.

“Hup!”

Lalu, terjadilah peristiwa itu.

Tak sengaja kaki si pemuda menginjak kaki sang pria berbadan besar. Langsung saja ia didorong begitu saja. “Argh!!!”, begitu kedengarannya. Lalu kemudian, belum selesai pemuda itu memperbaiki posisi berdirinya,  terdengar lagi teriakan semacam nama binatang, “Anj*** #%@#$lu!!!”

Terlihat sebuah jari telunjuk besar ditujukan ke arah pemuda tadi. Jari-jari di tangan yang lain masih memegang kaki yang tadi kena injak.

Kemudian, kejadian selanjutnya terjadi begitu cepat.
Refleks, si pemuda menunduk berjongkok menghindari tunjukan itu. Lalu, “Guk guk!”. Terdengar suara nya yang sekarang terlihat menggoyangkan badannya ke depan-belakang. Mirip anjing kecil.

Karena melihat respon yang sangat aneh itu, sang pria berbadan besar seketika itu juga melongo.

Tak sampai satu detik setelahnya, pemuda paruh baya itu berdiri lagi. Kali ini dia mendekat ke arah pria besar yang masih memasang muka tak percaya.

“Maaf, Pak…” kata nya sambil agak membungkukkan badan. “Permisi….”

Kemudian dia berbalik, dan berjalan, pergi dengan santainya. Rambutnya tertiup angin kota, persis seperti iklan sampo di televisi.

Sang pria berbadan besar mengerjapkan mata, masih dengan muka bingungnya.

Tulisan ini, mengenai realitas eksternal dan realitas internal.

Realita: di Luar atau di Dalam?

“Setiap orang hanya menanggapi apa yang ada di kepalanya, bukan realita yang sebenarnya”.

Dalam berkomunikasi, terdapat istilah ‘Realitas Eksternal’. Yaitu kejadian yang sebenarnya terjadi di dunia nyata. (Untuk sederhananya, sebut saja kenyataan)

Kejadian nyata itu masuk ke dalam pikiran melalui panca indra kita; melalui apa yang kita lihat, dengar, cium, rasa, atau sentuh.

Nah, Informasi nyata itu kemudian diolah di pikiran kita menjadi ‘Realitas Internal’. Yaitu kejadian yang kita anggap terjadi di dalam kepala kita. (Untuk sederhananya, sebut saja persepsi, pemahaman, cara pandang).

Persepsi inilah yang kita pakai sebagai dasar untuk menanggapi suatu kejadian. Karena persepsi tiap orang berbeda-beda, maka setiap orang bisa menanggapi kejadian yang sama dengan cara yang berbeda-beda.

Lantas, apa yang membuat persepsi tiap orang bisa berbeda-beda?

Tentu saja, pengetahuan dan pengalaman.

Kebanyakan orang-orang tua—bukan semuanya—sudah mengetahui lebih banyak hal dan mengalami lebih banyak kejadian daripada anak muda. Pengetahuan dan pengalaman itu diolah dalam pikiran mereka, menjadi suatu pemahaman tertentu yang lebih luas atau lebih mendalam. Karena itulah, mereka sering kali dapat bersikap lebih bijak daripada anak muda.

Dalam buku Man’s Search for Meaning, Victor Frankl, seorang psikiatris mantan tahanan Nazi (Nazi yang konon memperlakukan tahanannya dengan kejam selayaknya binatang), menulis tentang adanya dua golongan tahanan yang merespon tekanan (hukuman) dengan cara yang berbeda. Ada tahanan yang merasa putus asa, sehingga dia benar-benar bertindak seperti binatang. Ada tahanan yang tetap bisa bersikap baik walupun berada dalam tekanan.

Perhatikan.

Kenyataan yang terjadi adalah adanya ‘serangkaian kegiatan fisik yang ditugaskan oleh beberapa orang berbadan besar kepada orang-orang yang berada dalam tahanan’

Persepsi golongan tahanan pertama terhadap hukuman itu adalah sebagai suatu tekanan dan penderitaan. Karena itu, mereka meresponnya dengan rasa putus asa yang menyebabkan mereka benar-benar memperlakukan diri-sendiri seperti binatang.

Sedangkan persepsi golongan tahanan kedua terhadap hukuman itu, mungkin, sebagai suatu ganjaran yang layak mereka terima. Karena itu, mereka meresponnya dengan tetap bersikap baik, membuat diri mereka sendiri tetap waras, tetap merasa bahagia walau dalam tekanan.

Dari situ kita bisa belajar bahwa ketika seseorang sudah memahami bagaimana otaknya memproses suatu kejadian, dia akan bisa objektif dalam menanggapi kejadian yang ada di sekitarnya.

Poin penting dari pelajaran ini adalah bahwa setiap orang sebenarnya merespon persepsi atau cara pandang mereka sendiri, BUKAN merespon kenyataan yang sebenarnya terjadi. Jadi, penting bagi kita untuk memperkaya wawasan, pengetahuan, dan/atau pengalaman, agar kita bisa memperkaya cara pemahaman kita, dan merespon dengan lebih bijak.

#cobalah terka, pada cerita di atas, kenapa si pemuda mengeluarkan respon seperti itu. Atau cobalah analisa realitas eksternal dan internal yg ada pada diri pemuda tersebut

Source : -SSI-

Information filter

“Informasi diolah di dalam pikiran dengan wujud yang sudah tidak utuh lagi. Tidak seperti semula”

Karena pikiran manusia, secara otomatis, memiliki tiga filter informasi, yakni :

1. DELESI.

Menghapus informasi yang tidak relevan.

Contoh: Ada sms seperti ini:

“.:Jarkom 3-ZzzUPER!:.
Entah ini kabar sedih atau gembira…
Ternyata…. kuliah ABK BATAL lagi! Zzz.
Ganti besok jm8, tempat sama.
E, besok zangan lupa bawa uang 40rb buat
bayar iuran kaoz kelaz ke Sandi!
Nih murid teladan yg udah bayar -> doni, nuril, ando, fery, ferdi.
.:Zalam Zzzuper zelalu!:.”

Nah! Informasi apa yang tertangkap??

Biasanya, kebanyakan kita secara otomatis hanya akan membaca: “Kuliah ABK batal, diganti besok jam 8, tempat sama. Besok bawa uang kaos 40rb”. Karena itulah inti informasi yang penting bagi semua murid secara umum. Siapa yang peduli dengan “doni, nuril, ando, fery, ferdi” yang jadi ‘murid teladan yang sudah bayar uang kaos kelas’?

Mungkin tidak ada. Karena informasi itu tidak relevan bagi siapapun. (kecuali bagi bendahara yang memang punya kepentingan). Lebih parah lagi, bagi murid yang saat itu sedang ada urusan penting–dan cuma fokus berharap kuliah batal–mungkin dia hanya akan membaca: “Kuliah ABK BATAL!” Mau diganti jam berapapun, atau bahkan tidak diganti, yang penting kuliah hari itu batal. Informasi yang lain menjadi tidak relevan, dan di-delete.

Hal POSITIF dari delesi adalah: otak tidak kebanjiran informasi. Karna terkadang kita tidak memerlukan informasi yang tidak kita butuhkan

Hal NEGATIF nya: bisa jadi informasi yang tidak relevan sekarang itu menjadi relevan—bahkan penting—di masa datang. Sehingga, kadang kita merasa, “Lho? Itu sudah pernah diberitahu ya?”

Salah satu contoh Delesi yang lain adalah ketika saya menyunting tulisan ini dengan menghapus bagian bagian/informasi yang menurut otak saya tidak relevan bagi saya -dan pembaca- untuk dikonsumsi.

2. GENERALISASI.

Menganggap lawan bicara kita sudah tahu-sama-tahu. Atau, menyamaratakan respon pada hal-hal yang kita anggap mirip (padahal, mirip belum tentu persis sama).

Contoh:
Semua anak laki-laki pasti suka sepak bola
Semua pejabat korupsi
Semua polantas suka mencari cari alasan untuk menilang

Saat kita menemukan hal yang tidak sesuai dengan kata-kata di atas, sering kita maknai sebagai bentuk penyimpangan. Padahal jelas, tidak semua seperti itu, bahkan bisa saja justru berbanding terbalik 180 derajat.

3. DISTORSI.

Memaknai dengan berbeda-beda. Atau menghubung-hubungkan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan, tidak logis.

Contoh:

A berkata kepada B: “Kamu nggak balas-balas smsku. Kamu nggak cinta lagi sama aku!”

Padahal bisa jadi belum tentu seperti itu. Mungkin si A memaknai cinta dengan kata-kata, sehingga ingin sering mendapat sms atau telpon. Tapi si B, bisa jadi memaknai cinta dengan membuktikan ke perbuatan, sehingga tidak sms pun tidak masalah.

Distorsi pemaknaan. Sekaligus hubungan yang tidak logis. Apa cinta hanya diukur dengan jumlah pulsa di henpon??

Masih dalam bahasan distorsi, dalam suatu terapi yang bernama Cognitive Behavior Therapy hubungan seperti itu diberi istilah mata rantai ABC. Yaitu ;

● Activating event. Kejadian yang mengaktivasi (memicu) timbulnya respon. Contoh: Teman kita terlambat datang ke rapat.

● Belief. Logika yg diyakini, seperti: “Jika A, maka pasti B”; atau “A sama dengan B”. Contoh: keyakinan “Terlambat datang rapat sama dengan tidak komitmen.”

● Consequence . Konsekuensi atau respon yang diberikan. Contoh: Marah.

Coba perhatikan!

Memangnya apa hubungannya terlambat dengan tidak komitmen?!

In a relationship? atau complicated?

Apakah mungkin orang terlambat itu tetap komitmen?

Apakah mungkin ada orang yang selalu tepat waktu namun dia tidak komitmen?

……….. Tentu saja, sangat mungkin sekali!!!!

Nah, sekarang kita tahu bahwa bisa jadi ada mata rantai yang kurang rasional di sini. Tinggal kita belajar untuk memutusnya dan menyambungnya lagi dengan logika.

#sumber : -sekolah strategi Indonesia-

graduation speech

When were 5,
they aksed us what we wanted to be when we grow up,
our answers were things like,
astronuts,
president,
or even maybe a princess.

When we were ten,
they aksed again,
we answered,
a rock star,
cowboy,
or maybe a gold medalist.

But now we have grown up,
they want a serious answer,
well how about this,
…who the hell knows !!

This isn’t the time to make hard and fast decisions,
this is the time to make mistakes.

Take the wrong train and get stuck somewhere,

fall in love, a lot,

major in philosofy, because where is no way to make a carrier out of that.

Change you mind,
and change it again,
because nothing is permanent.

So,
make as many mistakes as you can,

that way someday then they ask what we want to be,
we won’t have to guess,
… we’ll know

*taken from a film

just one more day

what would you do if you knew today is your last day ? would you wish for just one more day ?

the time to think of what you’ve always wanted to do in life could be the last thing you do. so i think it’s not a bad idea if you write from now. all your dreams, all your to-do, to-done ..

it’s all easy in your mind, your imagination can take you anywhere you want, but don’t consider writing it down will be an easy thing, i’v tried, and i still go practise to do.

i hate regrets, and i think wanting one more day is a regret. i love the saying :

“fight..and you’ll become someone, don’t fight .. and you’ll still be someone, but not the same person”

but regret is to be, and there are many other things infront if we are able to see beyond that regret, so even if it kills you, keep fighting !!