Perbedaan Implementasi Penilaian Sebagai Acuan Penetapan Nilai Limit Penjualan BMN
Sebagaimana telah kita ketahui, kegiatan Penilaian termasuk dalam ruang lingkup pengelolaan BMN. Hal ini berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D yang telah diubah menjadi PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D. Rangkaian kegiatan pengelolaan BMN/D itu sendiri meliputi: pengelolaan perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Definisi penilaian telah dijelaskan sebagaimana tertera pada PP Nomor 38 Tahun 2008 Pasal 1 angka 22 yaitu, suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh Penilai untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu obyek penilaian pada saat tertentu dalam rangka pengelolaan BMN/D. Pada BAB VIII PP Nomor 06 Tahun 2006 dinyatakan bahwa penilaian BMN dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN. Untuk penilaian BMN dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan untuk penilaian BMN selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Pengguna Barang, pun juga dapat melibatkan Penilai independen yang ditetapkan oleh Pengguna Barang. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan nilai wajar. Hasil penilaian tersebut kemudian digunakan Pengguna Barang sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan nilai limit BMN yang akan dijual dengan cara lelang.
Permasalahanya seringkali terjadi perbedaan persepsi mengenai penetapan harga limit. Pada kendaraan dinas, Satker menetapkan harga berdasarkan hasil kali antara harga perolehan dengan persentase nilai sisa kendaraan dinas yang akan dihapuskan. Nilai sisa diperoleh dari rekomendasi Unit Pelaksana Teknis Balai Pengujian Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan (Dishub) yang terlebih dahulu melakukan survei atau cek fisik kendaraan dinas tersebut, sementara tim penilai DJKN c.q KPKNL menetapkan nilai berdasarkan nilai wajar sebagaimana peruntukan dalam rangka penyusunan LKPP.
Penetapan nilai limit lelang kendaraan dinas yang merupakan wewenang dari penjual (Pengguna Barang) adakalanya tidak sama dengan nilai wajar dari kendaraan dinas tersebut yang tertera di neraca pemerintah. Bahkan acapkali perbedaan antara harga limit jauh dibawah nilai wajar kendaraan tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2011 salah satu kementrian mengusulkan penghapusan BMN berupa kendaraan dinas dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui penjualan/lelang. Sebuah mobil jenis station wagon merek Opel Blazer tahun perolehan 1997 dengan harga perolehan Rp 76.500.000,00, pada tahun berjalan memiliki nilai wajar sebesar Rp 44.500.000,00. Kemudian oleh DJKN c.q KPKNL menyetujui untuk dihapuskan dengan nilai limit Rp 32.500.000,00. Terlepas dari seberapa besar harga lelang dari mobil tersebut tetap saja hal tersebut dapat mengindikasikan terjadinya kerugian negara.
Kondisi di atas terjadi karena perbedaan kepentingan dalam penilaian. Penilai internal dari Pengguna atau Pengelola Barang belum memiliki kesamaan persepsi tentang standar nilai yang dipakai karna belum diatur secara tegas. Penting diingat yang menjadi dasar dalam penilaian bahwa, dalam melakukan penilaian setiap Penilai yang menerima penugasan penilaian wajib terlebih dahulu mengerti dan memahami tujuan penilaian yang menjadi tugasnya. Hal ini penting mengingat jika tujuan dalam melakukan penilaian berbeda, maka akan memerlukan macam dan metode penilaian yang berbeda pula.
Sebagian besar Satker menetapkan nilai limit berdasarkan hasil rekomendasi Dishub berupa nilai penyusutan yang kemudian dikalikan dengan nilai perolehan sebagai standar nilai sehingga seringkali diperoleh nilai limit yang jauh dibawah nilai wajar yang didapat oleh tim Penilai DJKN c.q KPKNL yang mendapatkan nilai wajar kendaraan dinas dengan berbagai metode. Salah satunya dengan metode pendekatan harga pasar dimana nilai wajar diperoleh dari hasil survei langsung dipasaran sebagai standar nilai sehingga diperoleh nilai wajar yang mendekati harga pasar. Dalam hal ini, nilai wajar memperhitungkan banyak faktor pembentuk nilai seperti inflasi, daya beli, permintaan dan penawaran dan lain sebagainya sehingga acapkali diperoleh nilai yang jauh lebih tinggi dari nilai perolehan.
Dalam beberapa kasus, terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara nilai wajar dengan nilai limit lelang BMN yang akan dihapuskan kemudian dijual secara lelang. Nilai limit yang ditetapkan acapkali lebih rendah dari nilai wajar yang ada pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hal ini tentu saja berpotensi merugikan negara dan menurunnya kualitas LKPP.
Polemik timbul justru karena tidak ada pihak yang patut untuk dijadikan kambing hitam. Bagaimanapun DJKN c.q KPKNL tidak memiliki wewenang untuk menetapkan nilai limit penjualan BMN. Dirjen KN sendiri telah menerbitkan surat menenai kebijakan nilai limit penjualan yang meminta Satker untuk menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limityang Diusulkan dalam usulan penghapsan. Selain itu, yang lebih mengetahui kondisi dari BMN yang dijual adalah Satker penjual. DJKN c.q KPKNL hanya berwenang menyetujui/menolak usulan Satker atas pemindahtanganan BMN. Sejauh apa yang diketahui saat ini, tidak ada satu pun yang melakukan kesalahan ataupun melanggar peraturan perundang-undangan. Semua berjalan sesuai prosedur dengan batas hak, kewajiban, dan wewenang masing-masing pihak. Baik DJKN c.q KPKNL, Satker penjual BMN, Dishub, pun Penilai. Hanya saja bagaimana caranya agar bisa memaksimalkan PNBP dan aset yang ada tidak tersia-siakan dengan percuma.
Dilema Satker
Dari Satker sendiri ada -dan telah menjadi rahasia umum yang entah apakah memang sudah tradisi atau memang ada kesepakatan tidak langsung antara PNS di negari ini yang tergabung dalam ribuan Satker- bahwa ada semacam bentuk rasa “terima kasih” yang diperbolehkan atas dasar pengabdian yang telah diberikan dan demi rasa kemanusiaan kepada pejabat yang menguasai atau merawat kendaraan dinas tersebut. Terlebih lagi kepada pejabat yang masa pengabdianya sebagai PNS akan segera berakhir atau akan menjalani masa purnabakti. Sehingga kendaraan dinas yang akan dihapuskan tersebut “dihadiahkan” kepada pegawai atau pejabat tertentu dengan cara memprioritaskan pejabat tersebut sebagai calon pemenang lelang.
Kenyataan tersebut diperparah karena ketika akan menjual kendaraan dinas tersebut, ada kewajiban untuk melakukan pengunguman lelang di surat kabar harian yang memenuhi syarat sesuai Pasal 41 PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sementara anggaran Satker untuk melakukan pengunguman tersebut tidak tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Akibatnya terkadang biaya pengunguman ini ditanggung oleh “si calon pembeli lelang” dengan harapan bahwa barang yang dihapuskan tersebut akan dapat dimenangkan oleh “calon pembeli” tersebut. Akibat lainnya, karena memang telah diatur bahwa untuk BMN selain tanah dan/bangunan dengan nilai sampai Rp 30.000.000,00 pengunguman bisa dilakukan melalui pengunguman tempel sehingga Satker bisa mengajukan permohonan kepada KPKNL agar mendapat keringanan untuk tidak melakukan pengunguman lelang melalui surat kabar harian yang memenuhi syarat. Sebagai gantinya, pengumuman dilakukan dengan membuat pamflet/melalui tempelan atau sejenisnya yang kemudian dipasang di papan pengunguman kantor Satker penjual dan di KPKNL. Itu pun dilaksanakan/diumumkan lima hari sebelum pelaksanaan lelang.
Jelas situasi seperti tersebut diatas tidak ideal dalam menciptakan tatanan pengelolaan BMN yang transparan dan akuntabel. Pelaksanaan lelang tanpa pengumuman yang tersebar luas akan berakibat pada sedikit/terbatasnya jumlah peserta lelang, sementara hal itu jelas tidak dibenarkan. KPKNL selaku pemegang otoritas lelang tidak memiliki kewenangan untuk melarang peminat lelang untuk mengikuti lelang, terlebih jika lelang telah dilakukan pengumuman terlebih dahulu. Efeknya, persaingan antara peminat/peserta diluar instansi “yang tidak memiliki ikatan dengan objek lelang dengan ‘peminat/peserta dalam” yang merasa telah mengeluarkan biaya untuk terselenggaranya lelang, tidak dapat dihindari. Sehingga lelang berakhir dengan harga yang kompetitif dan relatif tinggi. Akibat lebih lanjut dari hal tersebut adalah timbul kekecewaan dari Satker pemohon lelang karena harga terbentuk tidak sesuai dengan harapanya, atau bahkan “terpaksa” melepas objek kepada pihak ketiga karena kalah dalam jumlah harga penawaran.
Keadaan makin sulit dengan adanya bayang-bayang dari fenomena “mafia lelang” yang memanfaatkan kondisi persaingan pada lelang untuk mencari keuntungan pribadi, yakni dengan cara mengadakan “kompromi” dengan seluruh peserta lelang agar sepakat tidak mengajukan penawaran pada saat lelang dengan meminta imbalan kepada “calon pemenang lelang”. Ini bisa saja terjadi mengingat kemungkinan terjadinya perbedaan antara nilai limit dengan harga lelang yang akan terbentuk.
Hal ini dapat menyebabkan kendaraan dinas yang kemudian “dikanibalisasi” sebelum dilaksanakan penghapusan karena pejabat yang memakai dan merawat kendaraan selama ini pesimis bakal memenangkan lelang atas penghapusan kendaran tersebut. Proses “kanibalisasi” bisa berjalan dengan berbagai cara sehingga pada suatu saat yang tertinggal hanyalah seoonggok besi tua.
Bagaimanapun, Satker akan tetap mengalami dilema antara menetapkan nilai limit lelang dengan harga yang tinggi atau menetapkan nilai limit lelang dengan harga yang rendah. Satker menghadapi situasi sulit dimana harus menentukan pilihan dari dua kemungkinan yang keduanya sama-sama tidak menguntungkan. Jika Satker mengusulkan nilai limit dengan harga yang rendah, ada kemungkinan bagi Satker terkait dituntut karena merugikan negara atas pengeloaaan BMN yang tidak optimal. Sementara dengan menetapkan nilai limit yang sama dengan nilai wajar, tetap ada kemungkinan tidak adanya peminat dalam lelang (karena salah satu anggapan/persepsi kebanyakan orang tentang lelang adalah harganya yang murah). Sehingga selain telah mengeluarkan biaya untuk melakukan seluruh persiapan lelang, pengamanan, penjagaan dan perawatan atas barang tersebut masih harus tetap ditanggung oleh satker. Ditambah lagi jika ternyata harus dilelang ulang, Satker masih harus menanggung biaya pengumuman dan/atau seluruh persiapan lelang kembali.
Grey area
Mengenai perhitungan nilai limit penjualan BMN, hingga sekarang belum ada peraturan yang mengatur tentang hal tersebut. Saat ini untuk penghapusan BMN dengan tindak lanjut pemindahtanganan melalui lelang kebijakan nilai limit penjualan BMN masih berdasarakan Surat Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan. Sehubungan dengan surat Dirjen KN tersebut, maka untuk keyakinan dan kepastian tanggung jawab Pengguna Barang dalam usulan penghapusan BMN, Satker Pengguna Barang harus menyertakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengguna Barang atas Nilai Limit penjualan BMN yang akan dihapuskan.
Jika diperhatikan, tujuan awal dikeluarkannya Surat Dirjen KN tersebut adalah untuk memecah/membagi risiko dan memudahkan pekerjaan DJKN. Maksudnya, agar tanggung jawab penghapusan BMN tidak mutlak ada pada DJKN c.q seksi Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) KPKNL. Idealnya sudah tentu penilaian itu sebaiknya dilakukan oleh Penilai DJKN. Hanya saja jika dilakukan seperti itu semua risiko bisa ditanggung oleh DJKN. Laku atau tidak lakunya barang tersebut tanggung jawab ada di DJKN. Sementara penguasaan barang ada di Pengguna Barang. Artinya Pengguna Barang yang lebih tahu mengenai kondisi BMN. Sudah jelas karena Pengguna Barang yang mengusulkan anggaran kebutuhan, Pengguna Barang juga yang melakukan perawatan dan pemeliharaan. Ketika nilai limit lelang berdasarkan penilaian oleh Penilai DJKN lantas kemudian tidak laku, sementara Pengguna Barang sudah melepaskan tanggung jawab pemeliharaan dan perawatan, otomatis perlahan-lahan barang tersebut akan hancur. Selain itu Penilai DJKN jumlahnya sangat terbatas, sementara tugas yang ada relatif banyak. Jika tidak segera dilakukan penilaian, kondisi dan nilai dari BMN yang direkomendasi untuk dihapuskan akan terus menurun. Sulit untuk melakukan percepatan pelaksanaan penghapusan jika menunggu pelaksanaan dan laporan penilaian dari tim Penilai DJKN.
Dengan kondisi seperti diatas itulah yang menjadi argumen untuk mendukung bahwa untuk penilaian selain tanah dan/atau bangunan sebaiknya dilakukan oleh Pengguna Barang saja, asalkan nilai yang dihasilkan berdasarkan metodologi penilaian. Baik itu metode pendekatan data pasar maupun metode pendekatan biaya. Akan tetapi dalam pelaksanaanya Pengguna Barang terkadang terlalu menyederhanakan penilaian yang dilakukan. Sebagai contoh, Satker hanya mengalikan harga perolehan dengan persentase besaran nilai penyusutan BMN berupa kendaraan dinas yang akan dihapuskan.
Pada kenyataanya kondisi tersebut justru menciptakan suatu keadaan atau ruang yang bisa dikatakan sebagai “grey area” dimana setiap orang memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk bermain-main didaerah tersebut. Maksudnya seperti ini, karena tidak diaturnya secara tegas mengenai perhitungan nilai limit penjualan BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dalam hal ini khusus kendaraan dinas, dalam menentukan nilai limit penjualan BMN berupa kendaraan dinas, Satker yang berwenang mengusulkan nilai limit penjualan “dapat” menaksir nilai limit penjualan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan cara memperkirakan. Sementara DJKN c.q KPKNL melalui seksi PKN posisinya menjadi lemah justru karena SE Dirjen KN yang mangalihkan tanggung jawab kepada Pengguna Barang atas nilai limit yang diusulkan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh “oknum nakal” atau pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan untuk diri sendiri maupun golongan/kelompoknya. Bagaimanpun dengan adanya Surat Pernyataan Tangung Jawab Pengguna Barang atas nilai limit yang diusulkan dan dengan dipenuhinya syarat-syarat penghapusan oleh Satker Pengguna Barang, DJKN c.q KPKNL melalui seksi PKN tidak memiliki argumen dan/atau landasan yang kuat untuk menolak persetujuan penghapusan yang diusulkan oleh Satker Pengguna Barang. Tentu saja hal tersebut tidak mencerminkan pengelolaan BMN yang memenuhi asas fungisional, akuntabilitas dan kepastian nilai. Serta menimbulkan persepsi bahwa Satker diberikan kuasa penuh untuk mengelola BMN selain tanah dan/atau bangunan, padahal sebenarnya tidak dimaksudkan untuk seperti itu.
Nilai Residu dan Nilai Pasar Lelang
Nilai buku BMN dalam pembukuan, apabila umur BMN sudah lebih dari sepuluh tahun, maka nilai buku BMN tersebut seharusnya sudah nol (0) atau dengan kata lain sudah tidak memiliki nilai (menggunakan perhitungan akuntansi metode penyusutan garis lurus). Namun faktanya, nilai BMN yang telah berumur lebih dari sepuluh tahun tersebut tidak benar benar habis alias nol atau dengan kata lain masih mempunyai nilai. Pada BMN berupa kendaraan dinas yang telah berumur lebih dari sepuluh tahun, meskipun BMN berupa kendaraan dinas tersebut dianggap sudah tidak memiliki nilai ekonomis lagi, bukan berarti BMN berupa kendaraan tersebut tidak ada nilai residu atau nilai sisa riilnya pun juga nilai manfaatnya. Nah, nilai residu atau nilai sisa riilnya itulah yang kemudian menjadi nilai minimal untuk dimasukan ke kas negara atas penghapusan BMN yang dimaksud. Nilai residu yang dimaksud itu dapat merupakan nilai limit dalam proses lelang yang kemudian uang kas hasil lelang tersebut dikembalikan ke kas negara. Nilai residu yang kemudian nantinya akan menjadi harga lelang diusahakan untuk terus meningkat agar uang kas yang disetorkan ke negara sebagai PNBP diperoleh secara maksimal.
Kemudian yang harus dipertimbangkan adalah harga perolehan BMN bukanlah cerminan harga pasar terhadap BMN yang sama dan serupa di pasaran. Pengertian BMN sendiri merupakan semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau perolehan lainnya yang sah. Perolehan lainnya yang sah itu misalnya saja didapat dari hibah. Tentu saja BMN yang diperoleh dari hasil hibah harga total perolehannya tidak akan sebesar harga perolehan total dibandingkan jika membeli BMN yang sama dan serupa dipasaran. Penulis menyampaikan hal ini karena kebanyakan Satker mengusulkan nilai limit berdasarkan harga perolehan dengan besaran persentase nilai sisa BMN berupa kendaraan dari Dishub.
Hal tersebut jelas bukanlah suatu kesalahan jika memang nilai yang dihasilkan paling tidak hampir sama dengan harga yang ada di pasaran. Nilai yang diusulkan oleh Satker Penguna barang harus mencerminkan kondisi pasar karena harga barang di pasaran bisa saja naik dan bisa saja turun sewaktu-waktu. Satker harus cermat dalam penentuan usulan nilai limit BMN berupa kendaraan dinas yang akan dihapuskan. Meskipun belum tentu disetujui oleh Pengelola Barang, Satker Pengguna Barang tetap harus objektif dalam menentukan nilai limit. Bagaimanapun kendaraan dinas yang akan dihapuskan tersebut berada dalam penguasaan Satker Pengguna Barang sehingga Satker lah yang lebih mengetahui tentang kondisi barang. Penilai internal DJKN c.q KPKNL tidak memiliki wewenang untuk menilai jika tidak ada surat tugas. Sementara tugas Penilai DJKN c.q KPKNL sendiri masih banyak yang harus diselesaikan.
Dalam hal ini yang ingin disampaikan adalah Satker tidak harus menjadikan rekomendasi besaran persentase nilai sisa penyusutan dari Dishub sebagai dasar utama dalam menentukan nilai limit. rekomendasi besaran persentase nilai sisa penyusutan dari Dishub hanya wajib dipakai sebagai salah satu alasan untuk memenuhi persyaratan penghapusan.
Perlu juga diperhatikan bahwa dalam menetapkan nilai limit lelang baik Satker maupun DJKN c.q KPKNL yang menyetujui, perlu mempertimbangkan harga pasar lelang. Nilai wajar atau pun nilai pasar berbeda dengan nilai pasar lelang yang tidak menentu. Nilai pasar terbentuk dengan adanya penawaran dan permintaan yang terjadi di pasaran, atau nilai yang merupakan harga yang umum terjadi di pasaran. Konkritnya ialah rata-rata atau kisaran harga kendaraan jenis tertentu yang ada dalam pasar tertentu. Sebagai contoh misalanya, harga motor Suzuki Thunder tahun 2006 pada tahun 2012 di Jakarta berkisar antara 3-4 juta rupiah.
Sedangkan harga lelang terbentuk cenderung dikarenakan oleh kondisi lelang. Harga lelang merupakan harga yang terjadi akibat efek lelang yang bisa dipengaruhi oleh emosi peserta lelang, lingkungan, tempat pelaksanaan lelang itu sendiri, kecerdasan seorang asflager atau pemandu lelang bisa juga oleh Pejabat Lelang ketika menjalankankan proses lelang, termasuk seberapa besar ketertarikan peserta lelang terhadap barang yang dilelang. Meskipun anggapan kebanyakan orang tentang lelang adalah bahwa harga lelang itu murah, hal itu tidak dapat dibenarkan karena harga lelang merupakan harga yang kompetitif jika dalam pelaksanaan lelang prosesnya berjalan secara fair. Penjualan melalui lelang adalah penjualan terbaik jika dilaksanakan/berjalan secara ceteris paribus atau dengan kata lain tidak ada pengaruh negatif yang mengganggu jalannya proses lelang. Mulai dari tahap persiapan lelang, pelaksanaan lelang hingga pasca lelang. Sehingga terbentuk harga lelang yang benar benar kompetitif.
Solusi yang Belum Final
Pada dasarnya Surat Dirjen KN Nomor S-3297/KN/2009 bukanlah solusi final atau dengan kata lain solusi yang belum tuntas atas permasalahan perhitungan nilai limit penjualan BMN. Sebagai contoh, terciptanya grey area merupakan salah satu bukti konkrit ada indikasi timbulnya permasalahan baru.
Hakikat dari penyelesaian permasalahan diatas pada dasarnya sudah ada pada Surat Dirjen KN itu sendiri, dimana dalam surat tersebut disampaikan bahwa Pengguna Barang yang dimintakan Surat Pernyataan Tanggung Jawab pengguna Barang atas Nilai Limit yang Diusulkan tetap berlaku hingga ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan tentang Perhitungan Nilai Limit Penjualan BMN dari Pengelola Barang. Namun yang perlu dipertanyakan, sejak terbitnya surat Dirjen KN yang dimaksud diatas hingga saat ini Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud belum juga ditetapkan. Produk hukum yang kemudian telah ditetapkan justru mengatur mengenai arestasi atau Pelimpahan Sebagian Wewenang Pengelolaan BMN Kepada Kanwil dan KPKNL yang termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 31/KM.6/2008. Sementara KMK tersebut bukanlah alternatif penyelesaian masalah yang ideal. Sebab pada intinya KMK tersebut masih menyangkut risiko yang semuanya tidak ditanggung oleh seksi PKN KPKNL, namun juga oleh instansi yang memiliki tugas membina KPKNL yaitu Kanwil dan termasuk juga Kantor Pusat DJKN. Jadi semakin besar nilai BMN, tangung jawabnya juga semakin besar sehingga layak menjadi tanggung jawab instansi yang posisinya lebih diatas. Karena itu wewenang persetujuan/penolakan atas usulan penetapan status, pemanfaatan, penghapusan dan usulan pemindahtanganan dibagi berdasarkan nilai BMN.
Hanya saja dalam hal ini terjadi tumpang tindih, Kanwil yang seharusnya selaku superintenden dan/atau pembina KPKNL jangan melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan oleh kantor /pelayanan pun begitu dengan Kantor Pusat DJKN. Sepatutya -menurut hemat penulis-, dengan pelimpahan wewenang nilai yang berjenjang, sebaiknya menggunakan sistem “satu pintu” dengan artian KPKNL memegang kendali penuh atas pengelolaan BMN pada Satker sehingga ketika telah melampaui suatu nilai yang menjadi wewenang dari KPKNL, maka KPKNL harus berkonsultasi atau sharing dengan instansi yang berada diatasnya dalam mengambil keputusan atau dengan kata lain ada semacam asistensi baik dari Kanwil maupun Kantor Pusat DJKN sebagai supervisor. Kondisi yang tercipta seperti saat ini menimbulkan kesan bahwa DJKN terlihat seperti bermain di dua kaki, yakni sebagai regulator dan juga sebagai eksekutor.
Perlu diperhatikan bahwa Surat Dirjen Kekayaan Negara Nomor 3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan dan KMK 31/KMK.6/2008 tentang Pembagian Sebagaian Wewenang Pengelolaan BMN Kepada Kanwil dan KPKNL yang telah dikeluarkan dan ditetapkan belum tentu memenuhi prinsip/unsur-unsur bahwa pertama, tidak ada kerugian negara. Kedua kemudian apakah telah mengeliminasi kerugian negara, atau bisa jadi justru membuat kerugian negara yang lebih besar. Lagipula kita tidak berbicara tentang siapa yang paling bertangung jawab atas kerugian negara jika suatu saat ada pihak yang melakukan penuntutan/pemeriksaan atau bagaimana pembagian wewenang yang seharusnya. Tetapi mencari cara yang paling efektif dan efisien untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari nilai sisa BMN yang dihapuskan agar terlaksananya Pengelolaan BMN yang memenuhi asas fungisional, kepastian hukum, transparan, efisien, akuntabel, dan kepastian nilai yang didukung dengan ketepatan jumlah dan nilai dari BMN yang dikelola demi mendapat sebesar-besarnya manfaat untuk kemakmuran rakyat.
There is a will, thare is a way
Surat Dirjen Kekayaaan Negara Nomor S-3297/KN/2009 tentang Kebijakan Nilai Limit Penjualan yang pada awalnya untuk membantu dan melindungi Penilai DJKN serta untuk memecah risiko yang memikul tanggung jawab sangat berpotensi menyebabkan hilang/berkurangnya penerimaan negara. Surat tersebut akan terus berlaku hingga ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan mengenai Perhitungan Nilai Limit Penjualan BMN dari Pengelola Barang. Mungkin saja ada beberapa hambatan dan/atau alasan yang mendasari belum ditetapkanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Hal yang penting diperhatikan adalah penghapusan dalam ruang lingkup Pengelolaan BMN adalah suatu keniscayaan. Jika siklus Pengelolaan BMN telah dimulai dengan adanya perencanaan dan penganggaran yang diikuti dengan pengadaan, penghapusan akan mutlak ada. Hal tersebut yang perlu dijadikan pegangan oleh semua pelayan masyarkat yang bertugas sebagai pengelola BMN.
Dalam hal penghapusan yang dibicarakan adalah mengenai nilai. Lantas DJKN sebagai pengelola kekayaan negara belum memiliki standar nilai dalam penghapusan. Saat ini yang telah diatur hanya umur dan kondisi BMN berupa kendaraan dinas sebagai syarat penghapusan. Walaupun bisa dikatakan penilaian itu ada kewenanganya, yang menjadi pertanyaan adalah kenapa wewenangnya hanya dibatasi dengan tanah dan/atau bangunan?
Pemberian wewenang dalam melakukan penilaian selain tanah dan/atau bangunan kepada Satker Pengguna Barang dimaksudkan karena Satker Pengguna Barang lebih mengetahui kondisi barang yang berada dalam penguasaanya untuk dihapuskan. Namun kesan yang terlihat di permukaan justru seperti terjadinya suatu konflik yang berakhir dengan kompromi dalam bentuk pelimpahan wewenang penilaian kepada Satker dan pelimpahan sebagian wewenang persetujuan/penolakan penghapusan/pemindahtanganan kepada Kanwil dan KPKNL. Oleh karena penghapusan dalam pengelolaan BMN merupakan suatu keniscayaan, kesan kompromi yang sering terlihat akhirnya membentuk suatu kesimpulan bahwa dengan membuat surat pernyataan bertanggung jawab, kemungkinan usulan penghapusan disetujui akan semakin besar, yang seakan-akan Satker menjadi memiliki kuasa atas penghapusan BMN. Disinilah letak “grey area” yang tercipta karena belum adanya peraturan yang mengatur secara tegas. Sementara wilayah abu-abu tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi atau untuk golangan/kelompoknya.
There is a will, thare is a way. Suatu peraturan ditetapkan semestinya untuk kebaikan semua pihak. Terlebih lagisemua pihak baik yang mengelola, menggunakan maupun yang menguasai BMN adalah abdi negara yang bekerja untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga harus mengesampingkan kepentingan pribadi. Pemegang kunci utama dalam polemik ini ada pada Menteri Keuangan c.q DJKN selaku pengelola kekayaan negara khususnya BMN. Apapun tantangannya, selama ada kemauan pasti ada jalan. Membuat Peraturan Menteri atau mengubah suatu Peraturan Pemerintah memang bukan perkara mudah, begitu juga ketika nanti dalam pelaksanaanya. Namun bukan berarti membiarkan kondisinya tetap seperti ini. Ada banyak cara untuk mencoba memperbaiki kondisi ini. Beberapa contoh misalnya, menambah jumlah SDM Penilai DJKN, atau membuatkan ketentuan cara menilai/memperoleh nilai kepada Satker, dan bisa juga dengan mendidik dan mensertifikasi pegawai Satker Pengguna Barang sebagai Penilai. Hal terpenting yang mesti dilakukan adalah memperbaiki sistem yang ada saat ini melalui peraturan/perundang-undangan yang secara tegas memenuhi asas-asas dan prinsip pengelolaan Barang Milik Negara.