makna ,..

Sukses atau gagal memiliki definisi dan makna yang berbeda bagi setiap orang. Begitu pun pada diri yang memaknai arti sebuah kebahagiaan. Maka benarlah sebuah pendapat yang mengatakan bahwa kita (manusia) adalah makhluk makna. Bergerak maupun diam, sedih atau senang disebabkan oleh makna. Makna yang tersirat dibenak kita.

Pada kenyataanya, kita bebas untuk memilih makna. Karena bagaimanapun, tanpa sadar acap kali kita merespon apa yang ada didalam benak kita, bukan realita sebenarnya (baca https://bukuiitem.wordpress.com/2012/01/31/realita-di-luar-atau-di-dalam/ ). Disinilah letak kekuatan pikiran, sungguh amat sangat disayangkan jika kita hanya memilih satu makna yang justu tidak memberdayakan diri ini, sementara ribuan makna  lain masih berserakan.

Dalam memilih makna terkadang kita terlupa, bahwa hikmah sejati tak selalu muncul diawal pagi, dan itu berarti kembali kepada diri ini, bagaimana cara kita memaknai. Ya, begitulah, hidup sejatinya adalah rangkaian pemilihan makna. Sekali lagi, kita bebas memilihnya.

Fundamental Attribution Error (FAE)

Ini mengenai karakter, atau kebiasaan. Oke, keduanya mungkin merupakan hal yang berbeda, pun judul diatas hanya istilah “keren” yang mengungkapkan bahwa ketika menafsirkan perilaku orang lain, orang-orang (bisa jadi termasuk kita) cenderung melebih-lebihkan peran bakat atau –katakanlah- bawaan dari diri seseorang, tanpa memerhatikan peran situasi dan konteks.

Contohnya, dalam sebuah eksperimen sekelompok orang diminta memainkan kuis dimana setiap dua orang dipasangkan secara acak yang kemudian diberi tugas masing-masing sebagai penanya dan yang lainya sebagai kontestan/penjawab. Setelah selesai kedua kelompok diminta menilai tingkat pengetahuan umum pasangan masing-masing. Tentu, para kontestan menilai penanya masing masing sebagai orang yang lebih pintar dari mereka.

Kita dapat melakukan eksperimen serupa dengan banyak cara yang berbeda. Namun pada akhirnya, ini tidak akan menghasilkan perbedaan yang berarti. Maksud saya, dalam konteks ini misalnya, si penanya tentu akan menanyakan hal tertentu yang ia kuasai dan belum tentu diketahui oleh kontestan. Ini sangat subjektif. Menurut saya.

Kasus yang tidak sama persis namun hampir mirip, banyak orang yang percaya terhadap gagasan tentang salah satu faktor paling mendasar dalam menjelaskan kepribadian adalah urutan kelahiran. Mungkin cukup sering kita mendengar anak tertua misalnya, biasanya sok berkuasa dan kolot, sedang anak bungsu lebih kreatif namun pemberontak. Entahlah, dalam hal ini saya netral, silahkan tanyakan kepada saudara saya apakah saya benar begitu (haha)

Bagaimanapun, kita memang mencerminkan urutan kelahiran, tetapi itu hanya terjadi di lingkungan keluarga. Diluar itu, ketika mereka jauh dari keluarga (atau dengan kata lain, dalam konteks yang berbeda), anak tertua mungkin tidak lagi dominan, sementara adik bungsu bisa jadi menjadi orang yang sangat penurut. Hal ini merupakan salah satu contoh tentang FAE.

Menurut Malcom Gladwell dalam buku “Tipping Point” nya, “karakter lebih menyerupai seperangkat kebiasaan, kecenderungan, dan minat, yang masing-masing masih saling bebas meskipun masih dalam satu kumpulan, pada waktu, situasi dan konteks tertentu”

Silahkan tanyakan pada keluarga, sahabat, kenalan, pun kepada pacar/istri saya, bisa jadi ada pertentangan dari apa yang mereka katakan tentang saya. Misal, istri saya mengatakan kepada anda bahwa saya orang yang mudah marah namun suka mendengarkan tiap kali dinasehati. Di lain kesempatan guru saya mengatakan pendapatnya mengenai karakter saya : “mungkin randi ikhsan adalah satu satunya murid saya yang tidak pernah menggunakan kedua telinganya!!!”.

*Hei!!!!!! Ini hanya contoh , bukan berarti saya benar benar seperti itu

Pada faktanya, keduanya benar adalah saya (perumpamaan loh ya). Ada pun yang membuatnya menjadi berbeda adalah konteks yang menyertainya. Karenanya mesti objektif dalam menilai karakter seseorang.

FAE menjadikan dunia tempat yang jauh lebih sederhana dan lebih mudah dipahami. Sering kita jauh lebih paham terhadap petunjuk-petunjuk personal ketimbang petunjuk kontekstual. Lebih lanjut Gladwell mengatakan :

“Mendefinisikan orang melulu bedasarkan kepribadian keluarga memang jauh lebih mudah. Itu semacam jalan pintas. Jika kita terus-menerus meneliti dan memilah setiap penilaian orang-orang disekitar kita, rasanya ini terlalu muluk. Bayangkan bahwa kita harus membuat ribuan pertimbangan hanya untuk memutuskan apakah kita akan menyukai seseorang, apakah kita mencintai seseorang, apakah kita mempercayai seseorang, apakah kita akan menasehati seseorang. Bukankah itu jauh lebih sulit?”

                Ada pendapat dari seorang psikolog yang mengatakan bahwa pikiran manusia ada semacam “katup pereduksi”, yang pada intinya, katup tersubut menciptakan persepsi terhadap sesuatu lantas kemudian menutup katup tersebut untuk memepertahankan persepsinya. Walaupun pada kenyataanya (bisa jadi) ada perubahan yang terjadi terhadap sesuatu yang tersimpan dalam katup tersebut, namun ia tetap akan mempertahankan persepsinya.

Tetap diingat bahwa FAE hanyalah suatu kecenderungan dan tidak semua orang memiliki pola pikir seperti itu.

 

 

IMG065

 

#cobalah terka, apa atau siapa yang menjadi objek foto ini

#abaikan

(masih) tentang uang


Beberapa waktu yang lalu telah diilustrasikan tentang bagaimana “mereka memainkan permainan ini” (lihat: Ilustrasi saja), dari itu kita sedikit berfikir bahwa, “apa sebenarnya hakikat uang itu sendiri?”.  Berdasarkan fungsinya, uang selain sebagai alat tukar  juga berfungsi sebagai satuan hitung, penyimpan nilai, sebagai penimbun atau pemindah kekayaan (modal) serta alat untuk meningkatkan status sosial. Sepakat? Jika ada kekurangan, tolong dikoreksi.

 

Ah, tampaknya kita harus mengetahui sejarah uang agar lebih memahami hakikat benda yang hampir selalu kita bicarakan dalam kehidupan kita sehari-hari tersebut. Berikut sejarah uang yang diambil dari Wikipedia dengan perubahan seperlunya seperti yang tertera pada majalah era muslim diggest edisi 8. Jika berminat mengunduh, sila hubungi saya.

Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhanny.

tukar sapi

            Perkembangan selanjutnya menghadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem barter’, yaitu barang yang ditukar dengan barang. Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan, dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya.

            Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah bendabenda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.

            Barang-barang yang dianggap indah dan bernilai, seperti kerang, pernah dijadikan sebagai alat tukar sebelum manusia menemukan uang logam. Namun, walau alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama. Ketika itu manusia berpikir keras untuk bisa menemukan satu benda yang memenuhi syarat untuk dijadikan “uang”. Muncullah apa yang dinamakan uang logam yang terbuat dari emas dan perak. Logam tersebut dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak.

            Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money) yang memiliki arti sebagai uang yang memiliki nilai sesungguhnya atau nilai intrinsik (nilai bahan) dimana bahan pembuat uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.

            Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas sehingga nilainya kian lama kian tinggi. Ini sejalan dengan prinsip universal ekonomi di mana ada permintaan tinggi sementara barang langka maka harganya akan menaik, dan juga sebaliknya. Selain itu, penggunaan uang emas dan perak ini juga tidak menjawab pertukaran barang yang kecil alias yang murah, sehingga lama-kelamaan timbullah ide untuk membuat uang kertas (promise money). Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan buktibukti atas kepemilikan emas dan perak sebagai alat/ perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin sepenuhnya atau 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak, dan kapan pun bisa ditukar penuh dengan jaminannya.

            Pada perkembangan selanjutnya, ketika lembaga-lembaga atau institusi keuangan dalam bentuk yang sederhana sudah dibangun manusia, maka uang kertas yang memiliki nilai nominal tertentu dan lebih kecil ketimbang nilai emas pun kian digemari orang. Bisa jadi karena dianggap lebih praktis. masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran dan lebih menggunakan Promise Money alias surat utang tersebut sebagai alat tukar.

            Dalam perjalanannya, uang yang tadinya berasal dari bahan yang sungguh-sungguh bernilai secara intrinsik, di kemudian hari diubah dibuat dari bahan yang sesungguhnya tidak memiliki nilai seperti kertas dan juga logam jenis besi atau campuran namun masih secara penuh alias 100% didukung oleh persediaan emas dan perak.

Dan begitulah,..

Semoga kita memahami hakikat uang yang sejatinya ialah sebagai alat, bukan tujuan. Adapun uang kertas, logam, emas maupun perak mungkin kita harus lebih bijak dalam menyiasatinya. Kita telah mengetahui sejarah uang, pada faktanya jika mengingat fungsi dari uang itu sendiri, benda yang paling cocok digunakan sebagai uang adalah emas, yah setidaknya itu pendapat pribadi saya. Kecuali bila kita mengartikan uang dalam ilmu ekonomi tradisional yang mendefiniskan uang sebagai alat tukar yang dapat diterima secara umum. Lantas bagaimana dengan anda??

Lebih lanjut mengapa emas, akan kita lanjutkan pembahasan kita di lain kesempatan. Jika Tuhan menghendaki tentunya.Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk sedikit membaca sebagian isi kepala saya di blog yang sederhana ini. regards